Minggu, 22 Mei 2011

Selayang Pandang Kalimantan Barat

Selayang Pandang Kalimantan Barat

 
4 Votes


JL. DIPONEGORO 1974
Kalimantan Barat adalah sebuah provinsi  di Indonesia  yang terletak di Pulau Kalimantan, dan beribukotakan  Pontianak. Luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat adalah 146.807 km² (7,53% luas Indonesia). Merupakan provinsi terluas keempat setelah Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Daerah Kalimantan Barat termasuk salah satu daerah yang dapat dijuluki propinsi “Seribu Sungai”. Julukan ini selaras dengan kondisi geografis yang mempunyai ratusan sungai besar dan kecil yang diantaranya dapat dan sering dilayari. Beberapa sungai besar sampai saat ini masih merupakan urat nadi dan jalur utama untuk angkutan daerah pedalaman, walaupun prasarana jalan darat telah dapat menjangkau sebagian besar kecamatan.Walaupun sebagian kecil wilayah Kalbar merupakan perairan laut, akan tetapi Kalbar memiliki puluhan pulau besar dan kecil (sebagian tidak berpenghuni) yang tersebar sepanjang Selat Karimata dan Laut Natuna yang berbatasan dengan wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Jumlah penduduk di Provinsi Kalimantan Barat menurut sensus tahun 2000 berjumlah 4.073.430 jiwa (1,85% penduduk Indonesia).
Sejarah
JL. TANJUNGPURA 11-5-1975
Menurut kakawin Nagarakretagama (1365), Kalimantan Barat menjadi taklukan Majapahit, bahkan sejak zaman Singhasari yang menamakannya Bakulapura. Menurut Hikayat Banjar (1663), negeri Sambas, Sukadana dan negeri-negeri di Batang Lawai (nama kuno sungai Kapuas) pernah menjadi taklukan Kerajaan Banjar sejak zaman Hindu. Sejak 1 Oktober 1609, Kerajaan Sambas menjadi daerah protektorat VOC-Belanda. Sesuai perjanjian 20 Oktober 1756 VOC-Belanda akan membantu Sultan Banjar Tamjidullah I untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri diantaranya Sanggau, Sintang dan Lawai (Kabupaten Melawi). Menurut akta tanggal 26 Maret 1778 negeri Landak dan Sukadana diserahkan kepada VOC-Belanda oleh Sultan Banten. Inilah wilayah yang mula-mula menjadi milik VOC-Belanda selain daerah protektorat Sambas. Pada tahun itu pula Pangeran Syarif Abdurrahman Alkadrie direstui VOC-Belanda sebagai Sultan Pontianak yang pertama dalam wilayah milik Belanda tersebut. Pada tahun 1789 Sultan Pontianak dibantu Kongsi Lan Fang diperintahkan VOC-Belanda untuk menduduki negeri Mempawah. Pada tanggal 4 Mei 1826 Sultan Adam dari Banjar menyerahkan Jelai, Sintang dan Lawai (Kabupaten Melawi) kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pada 1855, negeri Sambas dimasukan ke dalam wilayah Hindia Belanda mejadi Karesidenan Sambas.
GEDUNG PERTEMUAN KOTA BESAR PTK SEKARANG BALAI PRAJURIT 1961
Zaman pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal yang dimuat dalam STB 1938 No. 352, antara lain mengatur dan menetapkan bahwa ibukota wilayah administratif Gouvernement Borneo berkedudukan di Banjarmasin dibagi atas 2 Residentir, salah satu diantaranya adalah Residentie Westerafdeeling Van Borneo dengan ibukota Pontianak yang dipimpin oleh seorang Residen. Pada tanggal 1 Januari 1957 Kalimantan Barat resmi menjadi provinsi yang berdiri sendiri di Pulau Kalimantan, berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 1956 tanggal 7 Desember 1956. Undang-undang tersebut juga menjadi dasar pembentukan dua provinsi lainnya di pulau terbesar di Nusantara itu. Kedua provinsi itu adalah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Iklim di kalimantan barat beriklim tropik basah, curah hujan merata sepanjang tahun dengan puncak hujan terjadi pada bulan Januari dan Oktober suhu udara rata-rata antara 26,0 s/d 27,0.kelembapan rata-tara antara 80% s/d 90%
Suku Bangsa
dayak jaman dulu
Daerah Kalimantan Barat dihuni oleh Penduduk Asli Dayak dan kaum pendatang lainnya dari Sumatra dan kaum urban dari tiongkok dan daerah di Indonesia lainnya. Suku Bangsa yang Dominan Besar yaitu Dayak ,Melayu dan Tionghoa, yang jumlahnya melebihi 90% penduduk Kalimantan Barat. Selain itu, terdapat juga suku-suku bangsa lain, antara lain Bugis, Jawa, Madura, Minangkabau, Sunda, Batak, dan lain-lain yang jumlahnya dibawah 10%.
Suku Dayak terdiri dari : (1) Rumpun Kanayatn , (2) Rumpun Ibanic , (3) [[ Rumpun Bidoih ( Kidoh-Madeh ) , (4) Rumpun Banuaka", (5) Rumpun Kayaanic (6) Rumpun Uut Danum dan Kelompok Dayak yang lainnya seperti:
1. Suku Iban ( Ibanic )
2. Suku Bidayuh ( Bidoih )
3. Suku Seberuang ( Ibanic)
4. Suku Mualang ( Ibanic )
5. Suku Kanayatn
6. Suku Mali
7. Suku Sekujam
8. Suku Sekubang
9. Suku Kantuk ( Ibanic )
10. Suku Ketungau ( Ibanic )
11. Suku Desa ( Ibanic )
12. Suku Hovongan ( Kayanic )
13. Suku Uheng Kereho ( Kayanic )
14. Suku Babak
15. Suku Badat
16. Suku Barai
17. Suku Bugau ( Ibanic )
18. Suku Bukat ( Kayanic )
19. Suku Galik ( Bidoih )
20. Suku Gun ( Bidoih )
21. Suku Jangkang ( Bidoih )
22. Suku Kalis ( Banuaka" )
23. Suku Kayan
24. Suku Kayaan ( Kayaanic)
25. Suku Kede ( Ibanic )
26. Suku Keramai
27. Suku Klemantan
28. Suku Pos
29. Suku Punti
30. Suku Randuk
31. Suku Ribun ( Bidoih )
32. Suku Cempedek
33. Suku Dalam
34. Suku Darok
35. Suku Kopak
36. Suku Koyon
37. Suku Lara ( Kanayatn )
38. Suku Senunang
39. Suku Sisang
40. Suku Sintang
41. Suku Suhaid ( Ibanic )
42. Suku Sungkung ( Bidayuh )
43. Suku Limbai
44. Suku Mayau
45. Suku Mentebak
46. Suku Menyangka
47. suku-suku sungai Mayuke
48. Suku Sanggau
49. Suku Sani
50. Suku Sekajang
51. Suku Selayang
52. Suku Selimpat
53. Suku Dusun
54. Suku Embaloh ( Banuaka" )
55. Suku Empayuh
56. Suku Engkarong
57. Suku Ensanang
58. Suku Menyanya
59. Suku Merau
60. Suku Muara
61. Suku Muduh
62. Suku Muluk
63. Suku Ngabang
64. Suku Ngalampan
65. Suku Ngamukit
66. Suku Nganayat
67. Suku Panu
68. Suku Pengkedang
69. Suku Pompang
70. Suku Senangkan
71. Suku Suruh
72. Suku Tabuas
73. Suku Taman
74. Suku Tingui
75. Rumpun Uut Danum di Kalimantan Barat: Dohoi, Cohie, Pangin, Limbai, Sebaung
* Sak Senganan ( Ibanic Moslem )
* Suku Melayu
lain-lain:
1. Suku Banjar
2. Suku Pesaguan
3. Suku Bugis
4. Suku Sunda
5. Suku Jawa
6. Suku Madura
7. Suku Minang
8. Suku Batak
9. dan lain-lain
* Tionghoa
1. Hakka
2. Tiochiu
3. dan lain-lain
Bahasa
Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang secara umum dipakai oleh masyarakat di Kalimantan Barat. Selain itu bahasa penghubung yaitu bahasa Melayu Pontianak, Melayu Sambas dan Bahasa Senganan menurut wilayah penyebarannya, Demikian juga terdapat beragam jenis Bahasa Dayak, Menurut penelitian Institut Dayakologi terdapat 188 dialek yang dituturkan oleh suku Dayak dan Bahasa Tionghoa seperti Tiochiu dan Khek/Hakka. Dialek yang di masksudkan terhadap bahasa suku Dayak ini adalah begitu banyaknya kemiripannya dengan bahasa Melayu, hanya kebanyakan berbeda di ujung kata seperti makan (Melayu), makatn (Kanayatn), makai (Iban), makot (Melahui). Khusus untuk rumpun Uut Danum, bahasanya boleh dikatakan berdiri sendiri dan bukan merupakan dialek dari kelompok Dayak lainnya. Dialeknya justru ada pada beberapa sub suku Dayak Uut Danum sendiri. Seperti pada bahasa sub suku Dohoi misalnya, untuk mengatakan makan saja terdiri dari minimal 16 kosa kata, mulai dari yang paling halus sampai ke yang paling kasar. Misalnya saja ngolasut (sedang halus), kuman (umum), dekak (untuk yang lebih tua atau dihormati), ngonahuk (kasar), monirak (paling kasar) dan Macuh (untuk arwah orang mati). Bahasa Melayu di kalbar terdiri atas beberapa jenis, antara lain Bahasa Melayu Pontianak, dan Bahasa Melayu Sambas. Bahasa Melayu Pontianak sendiri memiliki logat yang sama dengan bahas Melayu Malaysia dan Melayu Riau.
Agama
Mayoritas penduduk Kalimantan Barat memeluk agama Islam (35%), Katolik (28%), Protestan (10%), Buddha (6,4%), Hindu (0,2%), lain-lain (1,7%).
Pendidikan
Perguruan Tinggi/Universitas di Kalimantan Barat
1. Universitas Tanjungpura
2. Sekolah Tinggi Pastoral Santo Agustinus Keuskupan Agung Pontianak (STP ST. AGUSTINUS KAP)
3. Politeknik Negeri Pontianak
4. STIPER Panca Bhakti Pontianak
5. STAIN Pontianak
6. STMIK Pontianak
7. Politeknik Kesehatan
8. Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI Pontianak
9. Universitas Muhammadiyah
10. ASMI Pontianak
11. ABA Pontianak
12. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Widya Dharma
13. Akademi Sekretari dan Manajemen Widya Dharma
14. Akademi Bahasa Asing Widya Dharma
15. Akademi Manajemen Informatika dan Komputer Widya Dharma
16. Politeknik Tonggak Equator (POLTEQ)
17. STIE Pontianak
18. Universitas Pancabakti
19. STIH Singkawang
20. Universitas Kapuas, Sintang
21. Unit Program Belajar Jarak Jauh Universitas Terbuka
Batas wilayah
Utara berbatasan dengan Sarawak, Malaysia Timur
Selatan berbatasan dengan Laut Jawa
Barat berbatasan dengan Laut Natuna, Selat Karimata dan Samudra Pasifik
Timur berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Kalimantan Tengah
Cornelis, MH., Gubernur Kalimantan Barat
Pemerintahan
Ibu kota Kalimantan Barat adalah kota Pontianak
Kabupaten dan Kota
No.     Kabupaten/Kota—–Ibu kota
1          Kabupaten Bengkayang—–Bengkayang
2          Kabupaten Kapuas Hulu—–Putussibau
3          Kabupaten Kayong Utara—–Sukadana
4          Kabupaten Ketapang—–Ketapang
5          Kabupaten Kubu Raya—–Sungai Raya
6          Kabupaten Landak—–Ngabang
7          Kabupaten Melawi—–Nanga Pinoh
8          Kabupaten Pontianak—–Mempawah
9          Kabupaten Sambas—–Sambas
10       Kabupaten Sanggau—–Sanggau
11        Kabupaten Sekadau—–Sekadau
12        Kabupaten Sintang—–Sintang
13        Kota Pontianak—–Pontianak
14        Kota Singkawang—–Singkawang
Daftar gubernur
  1. Adji Pangeran Afloes 1957     1958
  2. Djenal Asikin Judadibrata 1958 – 1 959
  3. Johanes Chrisostomus Oevang Oeray 196 0 – 1966
  4. Soemardi, Bc. HK 1967 – 1972
  5. Kol. Kadarusno 1972 – 1977
  6. H. Soedjiman 1977 – 1987
  7. Brigjen H. Parjoko Suryokusumo 1987 – 1993
  8. Mayjen H. Aspar Aswin 1993 – 13 Januari 2003
  9. Usman Jafar 13 Januari 2003 – 14 Januari 2008
  10. Drs.Cornelis MH 14 Januari 2008 – sekarang
Pertanian & Perkebunan
Kalimantan Barat memiliki potensi pertanian dan perkebunan yang cukup melimpah. Hasil pertanian Kalimantan Barat diantaranya adalah padi, jagung, kedelai, dan lain-lain. Sedangkan hasil perkebunan diantaranya adalah karet, kelapa sawit, kelapa, lidah buaya, dan lain-lain.
Seni dan Budaya

tari dayak
Tarian Tradisional
Tari Monong / Manang / Baliatn, merupakan tari Penyembuhan yang terdapat pada seluruh masyarakat Dayak. tari ini berfungsi sebagai penolak / penyembuh / penangkal penyakit agar si penderita dapat sembuh kembali penari berlaku seperti dukun dengan jampi-jampi. tarian ini hadir disaat sang dukun sedang dalam keadaan trance, dan tarian ini merupakan bagian dari upacara adat Bemanang / Balian.
Tari Pingan, Merupakan Tarian Tunggal pada masyarakat Dayak Mualang Kabupaten Sekadau yang di masa kini sebagai tari hiburan masyarakat atas rezeki / tuah / makanan yang diberikan oleh Tuhan. Tari ini menggunakan Pingan sebagai media atraksi, dan tari ini berangkat dari kebudayaan leluhur di masa lalu, yang berkaitan erat dengan penerimaan / penyambutan tamu / pahlawan.
Tari Jonggan merupkan tari pergaulan masyarakat Dayak Kanayatn di daerah Kubu Raya, Mempawah, Landak yang masih dapat ditemukan dan dinikmati secara visual, tarian ini meceritakan suka cita dan kebahagiaan dalam pergaulan muda mudi Dayak. Dalam tarian ini para tamu yang datang pada umumnya diajak untuk menari bersama.
Tari kondan merupakan tari pergaulan yang diiringi oleh pantun dan musik tradisional masyarakat Dayak Kabupaten sanggau kapuas, kadang kala kesenian kondan ini diiringi oleh gitar. kesenian kondan ini adalah ucapan kebahagiaan terhadap tamu yang berkunjung dan bermalam di daerahnya. kesenian ini dilakukan dengan cara menari dan berbalas pantun.
tari melayu kreasi
Kinyah Uut Danum, adalah tarian perang khas kelompok suku Dayak Uut Danum yang memperlihatkan kelincahan dan kewaspadaan dalam menghadapi musuh. Dewasa ini Kinyah Uut Danum ini banyak diperlihatkan pada acara acara khusus atau sewaktu menyambut tamu yang berkunjung. Tarian ini sangat susah dipelajari karena selain menggunakan Ahpang (Mandau) yang asli, juga karena gerakannya yang sangat dinamis, sehingga orang yang fisiknya kurang prima akan cepat kelelahan.
Tari Zapin pada masyarakat Melayu kalimantan Barat, Merupakan suatu tari pergaulan dalam masyarakat, sebagai media ungkap kebahagiaan dalam pergaulan. jika ia menggunakan properti Tembung, maka disebut Zapin tembung, jika menggunakan kipas maka di sebut Zapin Kipas.

Sapek buatan Afanan - Sanggar Tari Spektrum - Pontianak
Alat Musik Tradisional
Gong / Agukng, Kollatung (Uut Danum) merupakan alat musik pukul yang terbuat dari kuningan, merupakan alat musik yang multifungsi baik sebagai mas kawin, sebagai dudukan simbol semangat dalam pernikahan. maupun sebagai bahan pembayaran dalam hukum adat.
Tawaq ( sejemis Kempul ). merupakan alat musik untuk mengiringi tarian tradisional masyarakat Dayak secara umum. Bahasa Dayak Uut Danum menyebutnya Kotavak.
Sapek. merupakan alat musik petik tradisional dari Kapuas hulu dikalangan masyarakat Dayak Kayaan Mendalam kabupaten Kapuas hulu. Pada masyarakat Uut Danum menyebutnya Konyahpik (bentuknya) agak berbeda sedikit dengan Sapek.
Balikan / Kurating. merupakan alat musik petik sejenis Sapek, berasal dari Kapuas Hulu pada masyarakat Dayak Ibanik, Dayak Banuaka”.
Kangkuang Merupakan alat musik pukul yang terbuat dari kayu dan berukir, terdapat pada masyarakat Dayak Banuaka Kapuas Hulu.
Keledik / kedire”. Merupakan alat musik terbuat dari labu dan bilah bambu di mainkan dengan cara ditiup dan dihisap. terdapat di daerah Kapuas Hulu. Pada suku Dayak Uut Danum di sebut Korondek.
Entebong. Merupakan alat musik Pukul sejenis Gendang, yang banyak terdapat di kelompok Dayak Mualang di daerah Kabupaten Sekadau.
Rabab (rebab), yaitu alat musik gesek, terdapat pada suku Dayak Uut Danum. Kohotong, yaitu alat musik tiup, terbuat dari dahan semacam pelepah tanaman liar di hutan seperti pohon enau. Sollokanong (beberapa suku Dayak lain menyebutnya Klenang) terbuat dari kuningan, bentuknya lebih kecil dari gong, penggunaannya harus satu set.
Terah Umat (pada Dayak Uut Danum), alat musik ketuk seperti pada gamelan Jawa. Alat ini terbuat dari besi (umat) maka di sebut Terah Umat.

mandau
Senjata Tradisional
Mandau (Ahpang : sebutan Uut Danum) sejenis Pedang yang memiliki keunikan tersendiri, dengan ukiran dan kekhasannya. Pada suku Dayak Uut Danum hulunya terbuat dari tanduk rusa yang di ukir, sementara besi bahan Ahpang (Mandau) terbuat dari besi yang di tambang sendiri dan terdiri dari dua jenis yaitu Bahtuk Nyan yang terkenal keras dan tajam sehingga lalat hinggap pun bisa putus tapi mudah patah dan Umat Motihke yang terkenal lentur, beracun dan tidak berkarat. Keris, Tumbak, Sumpit (Sohpot: sebutan Uut Danum), Senapang lantak, Duhung (Uut Danum), Isou Bacou atau parang yang kedua sisinya tajam (Uut Danum), Lunjuk atau sejenis tumbak untuk berburu (Uut Danum)
SASTRA LISAN
Bekana. merupakan cerita orang tua masa lalu yang menceritakan dunia khayangan atau Orang Menua pangau ( dewa – dewi ) dalam Mytrologi Dayak Ibanik: Iban , Mualang, Kantuk, Desa dll. Bejandeh. Sejenis bekana tapi objek ceritanya beda Nyangahatn. Doa tua pada masyarakat Dayak Kanayatn.
mandau
Pada suku Dayak Uut Danum, sastra lisannya terdiri dari Kollimoi (jaman kedua), Tahtum (jaman ketiga), Parung, Kandan, dan Kendau. Pada jaman tertua atau pertama adalah kejadian alam semesta dan umat manusia. Pada sastra lisan jaman kedua ini adalah tentang kehidupan manusia Uut Danum di langit. Pada jaman ketiga adalah tentang cerita kepahlawanan dan pengayauan suku dayak Uut Danum ketika sudah berada di bumi, misalnya bagaimana mereka mengayau sepanjang sungai Kapuas sampai penduduknya tidak tersisa sehingga dinamakan Kopuas Buhang (Kapuas yang kosong atau penghuninya habis) lalu mereka mencari sasaran ke bagian lain pulau Kalimantan yaitu ke arah kalimantan Tengah dan Timur dan membawa nama-nama daerah di Kalimantan Barat, sehingga itulah mengapa di Kalimantan Tengah juga ada sungai bernama sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Tahtum ini jika dilantunkan sesuai aslinya bisa mencapai belasan malam untuk satu episode, sementara Tahtum ini terdiri dari ratusan episode. Parung adalahsastra lisan sewaktu ada pesta adat atau perkawinan. Kandan adalah bahasa bersastra paling tinggi dikalangan kelompok suku Uut Danum (Dohoi, Soravai, Pangin, Siang, Murung, dll)yang biasa digunakan untuk menceritakan Kolimoi, Parung, Mohpash, dll. Orang yang mempelajari bahasa Kandan ini harus membayar kepada gurunya. Sekarang bahasa ini sudah hampir punah dan hanya dikuasai oleh orang-orang tua. Sementara Kendau adalah bahasa sastra untuk mengolok-olok atau bergurau.

tenun sintang-kalbar
TENUN
Kain Tenun Tradisional terdapat di beberapa daerah, diantaranya: – Tenun Daerah Sambas, – Tenun Belitang daerah Kumpang Ilong Kabupaten Sekadau, – Tenun Ensaid Panjang Kabupaten Sintang, – Tenun Kapuas Hulu.
Kerajinan Tangan
Tikar Lampit, di Pontianak dan daerah Bengkayang, Sintang, Kapuas Hulu. – Ukir-ukiran, perisai, mandau dll terdapat di Pontianak dan Kapuas Hulu. – Kacang Uwoi (Tikar Rotan bermotif) khas suku Dayak Uut Danum. – Takui Darok (Caping lebar bermotif) khas suku Dayak Uut Danum.
Kue Tradisional
Lemang. terbuat dari pulut di masukan ke dalam bambu, merupakan makanan tradisional masyarakat masa lampau yang kini masih dilestarikan. Lemper. terbuat dari pulut yang di isi daging / kacang terdapat didaerah Purun merupakan makanan tradisional Lepat. terbuat dari tepung yang di dalamnya di masukan pisang. Jimut. kue tradisional pada masyarakat Dayak Mualang daerah Belitang Kabupaten Sekadau , yang terbuat dari tepung yang dibentuk bulatan sebesar bola pimpong. Lulun. sejenis lepat, yamg isimya gula merah, terdapat di daerah Belitang kab sekadau Lempok. Terdapat di pontianak dibuat dari Durian (hampir semua suku Dayak dan Melayu mempunyai kebiasaan membuat Lempok) Tumpi’. terdapat pada
tenun ikat sintang kalbar
masyarakat Dayak kanayatn, yang terbuat dari bahan tepung. Tehpung. Kue tradisional pada dayak Uut Danum, terbuat dari beras pulut yang ditumbuk halus dan digoreng. Kue ini biasanya di buat pada acara adat, bentuknya ada yang seperti perahu, gong dan lain-lain.
Masakan dan makanan Tradisional
Masakan Asam Pedas di daerah Pontianak Masakan Bubur Pedas daerah Sambas Kerupok basah Makanan Khas kapuas Hulu Ale-ale Makanan Khas Ketapang Pansoh ( Masakan daging di dalam bambu ) pada masyarakat Dayak Nasi Akuang. terdapat di Pontianak, masakan khas tiong hoa Mie Tiau terdapat di kota Pontianak dan sekitarnya.

sekilas tentang dayak punan

sekilas tentang dayak punan

 
Rate This
dayak
Orang yang disebut Dayak itu hanyalah ada di Kalimantan, sedang kenapa mereka disebut Dayak atau “Orang Dayak“ dalam bahasa Kalimantan secara umum berarti “Orang Pedalaman“ yang jauh dan terlepas dari kehidupan kota.
DULUNYA memang begitu. Di mana-mana ada perkampungan suku dayak. Mereka selalu berpindah ke satu daerah lain, jika di mana mereka tinggal itu ada orang dari suku lain yang juga tinggal atau membuka perkampungan di dekat wilayah tinggal mereka.
Disebut ‘Dayak’ berarti tidaklah hanya untuk satu suku, melainkan bermacam-macam seperti Suku Dayak Kenyah, Suku Dayak Hiban, Suku Dayak Tunjung, Suku Dayak Bahau, Suku Dayak Benua, Dayak Basaf, dan Dayak Punan yang masih pula disertai puluhan “Uma “ (anak suku) dan tersebar diberbagai wilayah Kalimantan.
Pada kurun waktu sebelum abad 20, secara keseluruhan Suku Dayak ini tak mengenal agama Kristen dan Islam. Yang ada pada mereka hanyalah kepercayaan pada leluhur, binatang-binatang, batu batuan, serta isyarat alam pembawaan kepercayaan Hindu kuno. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari mereka mempercayai berbagai pantangan yang tandanya diberikan oleh alam. Pantangan dalam kehidupan masyarakat Dayak hanya ada dua. Yaitu pantangan yang membawa kebebasan sehingga populasi mereka bertambah banyak dan ada pula karena pantangan berakibat populasi mereka semakin sedikit dan kini malah hampir punah. Seperti misal kehidupan yang tak boleh berbaur dengan masyarakat lain dari suku mereka.
Pantangan ini membuat mereka selalu hidup tak tenang dan selalu berpindah pindah. Sehingga kehidupan mereka tak pernah maju bahkan cendrung tambah primitif. Misalnya saja seperti Suku Dayak Punan. Suku yang satu ini sulit  berkomunikasi dengan masyarakat umum. Kebanyakan mereka tinggal di hutan hutan lebat, di dalam goa-goa batu dan pegunungan yang sulit dijangkau. Sebenarnya hal tersebut bukanlah kesalahan mereka. Namun karena budaya  pantangan leluhur yang tak berani mereka langgar terjadilah keadaan demikian. Hal ini sebenarnya adalah kesalahan dari leluhur mereka .
menganyam rotan
Dalam riwayat atau cerita, leluhur mereka ini asal-usulnya datang dari negeri yang bernama “Yunan “ sebuah daerah dari daratan Cina. Mereka berasal dari keluarga salah satu kerajaan Cina yang kalah berperang yang kemudian lari bersama perahu-perahu, sehingga sampai ke tanah Pulau Kalimantan. Karena merasa aman, mereka lalu menetap di daratan tersebut. Walau demikian, mungkin akibat trauma peperangan, mereka takut bertemu dengan kelompok masyarakat manapun. Mereka kuatir pembantaian dan peperangan terulang kembali sehingga mereka bisa habis atau punah tak bersisa. Karena itulah oleh para leluhur mereka dilakukan pelarangan dan pantangan bertemu dengan orang yang bukan dari kalangan mereka.
Memang pada Abad ke 13, daratan Cina penuh dengan pertikaian dan peperangan antara raja-raja yang berkuasa untuk menentukan salah satu kerajaan besar yang menguasai seluruh daratan Cina. Karena saling tak mengalah, maka terjadilah peperangan sesama mereka untuk menentukan kerajaan mana yang paling besar dan menguasai seluruh daratan Cina itu.
Dayak Punan bermukim di daerah Bulungan yang kebanyakan tinggal di kawasan Kecamatan Pujungan (Long Sule) Kecamatan Lumbis dan Long Peso. Mereka terbagi dari 20 (Uma) dari Punan Basaf, Punan Berusu, Punan Bukat, dan Punan Ot. Secara umum mereka ini agak primitive dengan tinggal di goa-goa anak anak sungai dan lain sebagainya, tanpa memakai baju atau bisa disebut setengah telanjang.
Keadaan hidup primitif ini membawa mereka selalu berpindah pindah dari satu tempat ke lain tempat dan terus menghindar dari kelompok manusia lain. Dalam kepercayaan mereka para leluhur lah yang menghendaki demikian. Dengan banyak tanda yang diberikan semisal ada diantara mereka yang meninggal. Setelah dikubur, serentak mereka berpindah menuju daerah lain. Mereka sangat percaya kalau roh yang meninggal akan bergentayangan membuat mereka tak akan merasa tenteram.
Warga Punan ini disebut juga warga pengembara dan hidup dalam satu kelompok tanpa berpisah pisah. Dalam keseharian jika ada di antara wanita dan pria yang saling suka, mereka melakukan hubungan intim di dalam hutan. Begitu juga dengan tradisi melahirkan, jika ada yang hamil tua dan mau melahirkan wanita tersebut dibawa ke dalam hutan atau tepi sungai untuk melahirkan bayinya.
Keseluruhan Suku Dayak, orang Punan inilah yang paling terbelakang baik budaya maupun kehidupan mereka. Namun demikian dalam keseharian mereka selalu waspada dan siap berkelahi dengan siapapun, termasuk binatang-binatang ganas di dalam hutan. Tradisi siap tempur ini diwarisi semenjak nenek moyang mereka sebagaimana diceritakan di atas tadi. Mereka memiliki ilmu bela diri yang sangat tangguh dan berbeda dengan ilmu bela diri secara umum yang ada di masyarakat. Mungkin ilmu bela diri yang mereka miliki adalah ilmu yang mereka bawa dari daratan Cina asal-usul leluhur mereka.
Orang-orang Punan ini juga memiliki kelebihan dengan penciuman mereka. Mereka tahu ada sesuatu melalui arah  bertiupnya angin. Hebatnya mereka bisa membedakan bau manusia, dan binatang binatang dengan jarak yang cukup jauh. Walaupun dalam kondisi apapun mereka tahu kalau bau binatang atau manusia yang tercium membahayakan mereka.
Mereka juga senang dengan makanan yang masih mentah seperti sayur sayuran hutan yang berasal dari pohon nibung atau banding (teras dala). Begitu pula dengan daun pakis, atau labu hutan yang memang banyak terdapat. Soal beras tak terlalu perlu bagi mereka. Makanan utama mereka adalah umbi dan umbut umbutan hutan, ditambah dengan daging buruan yang mereka temukan. Untuk daging inipun jarang mereka masak. Jika ada binatang buruan yang
didapat mereka lebih suka menjemur daging-daging tersebut di matahari panas sehingga menjadi daging asinan atau dendeng.
dayak
Bagi Punan yang tinggal di dalam goa-goa, kebanyakan tak mengenal suami atau isteri. Secara umum jika mereka mau bergaul tergantung dari kesepakatan atau suka sama suka. Jadi bagi mereka tak ada istilah cemburu atau rasa memiliki sendiri. Jika ada yang hamil kemudian melahirkan, maka anak tersebut adalah anak bersama mereka. Di mana mereka saling sayang
menyayangi dan saling merawat satu dan lainnya.
Kehidupan dan kerja mereka sehari-hari berdasarkan limpahan kasih dari alam. Memang mereka bisa juga berhubungan dagang dengan masyarakat umum, tetapi tidak ditukar dengan uang namun dilakukan secara barter (Pertukaran). Yang dibawa mereka adalah seperti rotan, damar, kayu gaharu, sarang wallet. Yang dibarter dengan garam, gula, tembakau atau rokok. Dan ada pula kain kainan.
Cara penukaran barangpun tidak langsung bertemu dengan  orangnya, melainkan barang barang yang dibawa diletakkan disuatu tempat yang tersedia. Setelah barang mereka diambil
dan dibayar pula dengan barang yang dibutuhkan mereka. Setelah yakin pengantar barang sudah tidak ada, maka barulah mereka mengambil barang yang menjadi milik mereka. Dayak Berusu, adalah salah satu anak suku Dayak Punan. Tetapi Dayak yang satu ini sudah mengenal kehidupan modern. Keberadaan mereka banyak di daerah pesisir, yaitu di daerah Sekatak Kabupaten Bulungan mendiami sekitar 13 desa. Kehidupan mereka sangat berbeda
dengan mereka yang masih primitif.
Mereka dalam keseharian senang melakukan pesta memakan daging buruan serta meminum-minuman keras buatan mereka sendiri, yang terdiri dari bahan beras ketan dan tetumbuhan. Acara minum dan pesta tersebut mereka lakukan pada waktu panen terlebih jika ada yang meninggal dunia. Namun kebebasan bergaul sesama mereka tetap saja tak berubah. Di samping itu mereka juga tak pernah menerima masyarakat lain ke dalam kehidupan keluarga mereka. Walaupun masyarakat lain tersebut adalah orang orang dari Suku Dayak pula.
Dihitung dari populasi keberadaan Dayak Punan ini kian tahun kian menurun bahkan cendrung punah. Tetapi walau demikian mereka tetap saja tak pula berubah dengan pola adat istiadat dari leluhur mereka yang dipercayai. Mereka juga tak mengenal pakaian bagus dan kemajuan zaman. Lebih aneh lagi dari kehidupan masyarakat Punan ini adalah secara umum mereka merasa takut dan alergi terhadap Sabun . Entah apa sebabnya tak ada yang mengetahui secara pasti.
Dulu semasa Orde Baru ada sermacam badan yang menangani masalah pemukiman masyarakat terasing dan liar yang bernama “Resetlemen Penduduk”. Rasanya keberadaan lembaga ini di bawah pemerintah daerah Propinsi Kalimantan Timur. Banyak keberhasilan dari “Respen“ yang kini sudah berbuah dan terbukti semisal perkampungan masyarakat terasing di ”Gemar Baru” alur Sungai Mahakam, atau perkampungan masyarakat terasing di “Sungai Lati“ Kabupaten Berau yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial.
Patut rasanya bagi pemerintah Daerah Kalimantan Timur memperhatikan keadaan Suku Punan. Masalahnya jika benar ditelusuri, kehidupan dan seni budaya mereka adalah merupakan suatu asset yang langka dan patut dilestarikan. Kepunahan mereka adalah juga kerugian kita bersama. Kita cukup kaya dengan berbagai keragaman adat, seni dan budaya bangsa. Untuk itu mereka adalah merupakan tanggung jawab kita bersama.

Tradisi Dayak yang Terbaca Sunyi

Tradisi Dayak yang Terbaca Sunyi

 
Rate This

1. Mulai Punahnya Kebiasaan Memanjangkan Daun Telinga

Tanda identitas Dayak yang paling mencolok bagi orang-orang luar adalah praktik menindik dan memanjangkan daun telinga, meskipun tidak semua suku melakukan tradisi ini. Di Kalimantan Timur, tradisi ini masih terus dilakukan oleh orang-orang Dayak Kenyah, Bahau, dan Kayan.1. Di kalangan orang Dayak Kenyah, baik laki-laki maupun perempuan memiliki daun telinga yang sengaja dipanjangkan, akan tetapi panjangnya berbeda-beda antara laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki tidak boleh memanjangkan telinganya sampai melebihi bahunya, sedang kaum perempuan boleh memanjangkannya hingga sebatas dada.
Proses penindikan daun telinga ini sendiri dimulai sejak masa kanak-kanak, yaitu sejak berusia satu tahun. Kemudian setiap tahunnya mereka menambahkan satu buah anting atau subang perak. Anting atau subang perak yang dipakai pun berbeda-beda, gaya anting yang berbeda-beda ini menunjukkan perbedaan status dan jenis kelamin. Seperti misalnya kaum bangsawan memiliki gaya anting sendiri yang tidak boleh dipakai oleh orang-orang biasa.
Sedangkan menurut penduduk Dayak Kenyah, pemanjangan daun telinga di kalangan masyarakat Dayak secara tradisional berfungsi sebagai penanda identitas kemanusiaan mereka. Senada dengan hal itu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan bagi masyarakat Kenyah dan Bahau, orang-orang yang tidak bertelinga panjang dianggap serupa dengan kera (1995/1996:125).
Menurut penelitian Dr. Yekti Maunati yang berkunjung ke Desa Long Mekar, sebuah desa Dayak di mana Dayak yang „otentik‟ yang serupa dengan orang Dayak yang hidup di pedalaman tinggal, ternyata penduduk Desa Long Mekar sendiri tidak semua memiliki tato dan daun telinga yang panjang. Belakangan, terbukti bahwa hal ini hanya sebagian benar, karena banyak orang yang telah memotong daun telinga mereka yang [dulu sudah terlanjur] panjang8. Pemotongan daun telinga ini sendiri dilakukan di rumah sakit melalui sebuah operasi kecil. Hanya sedikit penduduk yang masih memiliki daun telinga yang panjang, itupun kebanyakan para manula yang berusia di atas 60 tahun. Dr. Yekti Maunati kemudian menceritakan mengenai perbincangannya dengan seorang perempuan tua bernama Mamak Ngah, yang sejak kedatanganya di Long Mekar dulu sudah memotong daun telinganya yang semula panjang. Berikut isi perbincangannya.
“Saya malu bertelinga panjang. Jadi saya pun memotongnya seperti yang dilakukan banyak orang lainya. Saya punya pengalaman buruk ketika orang-orang menertawakan saya karena daun telinga saya yang  panjang itu. Ketika saya pergi ke Samarinda untuk pertama kalinya dulu, orang-orang datang dan mengerumuni saya dan memandangi saya seolah-olah saya ini orang aneh. Mereka berkata, „Dia itu orang Dayak…dia makan manusia.‟ Mereka menyentuh daun telinga saya yang panjang itu. saya merasa sangat tersinggung. Saya diperlakukan seolah saya ini sebuah benda. Saya putuskan untuk memotong daun telinga saya yang panjang agar orang tidak lagi selalu menonton saya dan mengira saya makan manusia. Dengan begitu orang tidak akan mengira kalau saya ini seorang Dayak. Tentu saja, orang masih bisa melihat tato-tato saya, tetapi sayato h bisa menyembunyikannya dengan mengenakan rok panjang dan baju berlengan panjang”.2.
Perkataan Mamak Ngah ini jelas menunjukkan sudah berkurangnya rasa kebanggaan yang dimiliki penduduk Dayak. Mereka menjadi kurang menghargai nilai-nilai budaya yang mereka miliki, mereka malu pada kebiasaan memanjangkan daun telinga yang sudah diterapkan suku Dayak sejak berpuluh-puluh tahun lamanya. Mereka tidak menyadari bahwa orang-orang non-Dayak akan mengagumi dan menghargai orang-orang Dayak yang bertelinga panjang. Alih-alih menghargai, mereka malah malu akan identitas ke-Dayak-annya. Sebuah penanda fisik seperti telinga yang panjang dianggap sesuatu yang memalukan.
Isu mengenai apakah penanda fisik ke-Dayak-an ini , seperti daun telinga yang panjang, harus dilestarikan, kerap kali diperdebatkan oleh penduduk desa itu sendiri. Hanya sedikit orang yang berpendapat bahwa para orang tua yang mempunyai anak harus didorong untuk melestarikan tradisi, dengan cara memanjangkan daun telinga anak-anak mereka. Sebenarnya penduduk Dayak sendiri sadar bahwa mereka harus melestarikan tradisi mereka, karena jika tidak maka orang Dayak akan kehilangan tradisi yang berharga tersebut. Tetapi mereka juga berpendapat, bila suatu saat anak mereka pergi bersekolah ke kota-kota besar, maka anak mereka akan merasa malu karena terlihat berbeda dari anak-anak lain. Seperti pendapat Mely, tiga puluh tahun, yang memotong daun telinganya dan mengatakan bahwa ia tidak menyesali keputusannya untuk memotong daun telinganya. Ia menyatakan bahwa orang-orang tua boleh saja menyesalinya karena daun telinga yang panjang sekarang ini dapat menjadi sumber penghasilan, tetapi baginya seorang Dayak haruslah terpelajar dan punya pekerjaan yang layak.3.
Bila kita analisis lebih lanjut, timbulnya rasa malu tersebut turut disebabkan oleh modernisasi dan globalisasi yang mulai merasuki kehidupan masyarakat Dayak. Globalisasi ini kemudian membuat rakyat Dayak menjadi kurang menghargai nilai-nilai budaya yang mereka miliki, karena mereka menjadi lebih menghargai nilai-nilai yang berlaku di dunia internasional. Kebiasaan memanjangkan telinga yang tidak biasa di dunia internasional membuat warga Dayak menjadi berada dalam kebingungan mengenai haruskah mereka melestarikan nilai-nilai budaya mereka, yang kini diangap sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman?
Dulu, sebelum globalisasi dan modernisasi masuk ke kehidupan masyarakat Dayak, mereka sangat menghargai nilai-nilai budayanya, dalam hal ini memanjangkan daun telinga yang dianggap sebagai pertanda bahwa mereka adalah bangsa yang beradab. Namun sejak globalisasi masuk, muncul anggapan bahwa bangsa yang beradab bukan seperti apa yang mereka pikirkan selama ini. Mereka mulai merasa mereka berbeda dari bangsa atau suku lain,  yang mendapat cap “beradab” lebih dari mereka. Keberbedaan itu lantas menimbulkan
keraguan dalam diri mereka, sehingga pada akhirnya mereka menjadi nilai budaya yang mengatakan bahwa memanjangkan daun telinga adalah tanda suatu bangsa yang beradab. Penolakan terhadap nilai budaya inilah yang kemudian menyebabkan hanya sedikit warga Dayak, terutama kalangan muda, yang masih menjalankan kebiasaan memanjangkan daun telinga.
Padahal daun telinga yang panjang tersebut merupakan hal yang unik, yang dikagumi oleh masyarakat non-Dayak. Tidak seharusnya masyarakat Dayak malu akan penanda fisik tersebut, karena rasa malu itu pada akhirnya dapat menyebabkan punahnya salah satu nilai budaya di masyarakat Dayak.
2. Punahnya Nilai Membuat Tato pada Masyarakat Dayak

membuat tato tradisional dayak
Selain daun telinga yang panjang, penanda fisik ke-Dayak-an lainnya adalah tato. Perempuan dari kalangan usia paro baya dan manula di Dayak rata-rata memiliki tato di sekujur lengan dan kakinya. Bagi kaum perempuan, keberadaan tato di tubuh mereka menunjukkan mereka adalah anggota keluarga bangsawan. Orang-orang Kenyah, Bahau, Iban, dan Kayan memiliki tato, sedangkan kelompok-kelompok Dayak lainnya tidak mengikuti praktik ini. 4. Motif-motif untuk kaum perempuan Kenyah meliputi rantai-rantai anjing, motif-motif perang, tanduk-tanduk binatang di bagian lengan dan paha, dam motif-motif lingkaran di betis atau pergelangan kaki. Tato-tato pada suku Kenyah adalah tanda kedewasaan, sementara bagi kaum laki-laki tato merupakan tanda bahwa mereka sudah menjelajahi „negeri orang. 5. dan telah melakukan sesuatu yang luar biasa, seperti membunuh musuh dalam peperangan. 6.
Senada dengan penjelasan di atas, M. Sjaifullah dan Try Harijono dalam artikelnya di Kompas, 22 Oktober 2004 yang berjudul “Makna Tato bagi Masyarakat Dayak” mengatakan bahwa tato bagi sebagian masyarakat etnis Dayak merupakan bagian dari tradisi, religi, status sosial seseorang dalam masyarakat, serta bisa pula sebagai bentuk penghargaan suku terhadap kemampuan seseorang. Karena itulah, tato bagi masyarakat Dayak tidak dapat dibuat sembarangan. Meski demikian, secara religi tato memiliki makna sama dalam masyarakat Dayak, yakni sebagai “obor” dalam perjalanan seseorang menuju alam keabadian, setelah kematian14. Karena itu, jumlah tato yang semakin banyak menunjukkan semakin banyaknya “obor” yang akan menerangi perjalanan seseorang ke alam keabadian namun yang perlu diperhatikan di sini adalah pembuatan tato juga tidak bisa dibuat sebanyak-banyaknya secara sembarangan, karena harus memenuhi aturan adat.  Baik tato pada lelaki maupun perempuan, secara tradisional dibuat menggunakan duri buah jeruk yang panjang dan lambat-laun kemudian menggunakan beberapa buah jarum  sekaligus15. Yang tidak berubah adalah bahan pembuatan tato yang biasanya menggunakan jelaga dari periuk yang berwarna hitam. Inilah yang membuat tato Dayak berbeda dengan tato-tato lainnya yang kerap menggunakan berbagai warna untuk alasan keindahan.
Namun sayangnya nilai tato Dayak yang tadinya begitu luhur, yaitu menggambarkan “obor” yang akan menerangi jalan si empunya menuju alam keabadian, kini telah bergeser nilainya. Kini, tato Dayak tak lebih hanya dianggap sebagai lambang untuhgagah- gagahan, terutama bagi kalangan generasi mudanya. Anggapan tato sebagai simbol kegagahan ini serupa dengan anggapan masyarakat luar Dayak, tato biasa diidentikkan dengan preman-preman yang dapat dikatakan gagah. Anggapan inilah yang kemudian merasuk ke dalam pemuda-pemudi Dayak, melalui suatu proses globalisasi. Globalisasi telah membuat nilai Tato Dayak bergeser menjadi tato untukgaga h -gagahan dan kekerasan semata. Hanya beberapa orang tua di desa itu saja yang masih menaruh perhatian, seraya berpendapat bahwa modernisasi telah melemahkan aspek kebudayaan tradisional yang satu ini16. Menanggapi hal ini, Laurensius Ding Lie, yang menyebut dirinya pembuat Art Tatoo Dayak di Kampung Long Bagun Ilir, menyatakan keprihatinannya. Ia prihatin dengan citra tato yang identik dengan kekerasan. Apalagi belakangan ini semakin banyak warga non-Dayak yang meminta untuk ditato Dayak,  tanpa mengetahui esensi sebenarnya dari tato Dayak tersebut. Inilah yang sangat disayangkan, ketika nilai budaya dari suatu kebudayaan hilang dan tergantikan oleh nilai lain yang dapat dikatakan melenceng dari nilai aslinya karena proses modernisasi dan globalisasi.
kepustakaan
1. Dr. Yekti Maunati, Identitas Dayak Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2004), hal.149.
2. Ibid. hal. 151
3. Ibid. hal. 154.
4. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Wujud Arti dan Fungsi Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli di Kalimantan Timur, (Samarinda: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, 1995/1996).
5. Konsep „negeri orang yang dimaksud di sini tidak selalu harus berarti negara lain, tapi juga dapat berarti wilayah yang menjadi milik kelompok lain.
6. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur,o p .cit, hal. 120-122.
7. M. Sjaifullah dan Try Harijono, Makna Tato bagi Masyarakat Dayak, http://www2.kompas.com/kompas-cetak /0410/22/tanahair/1339279.htm, diakses pada 22 Mei 2008, pukul 15.32
8. Ibid.
9. Dr. Yekti Maunati,o p. cit, hal. 155.

beberapa tari dayak dari kalimantan timur

beberapa tari dayak dari kalimantan timur

sumber: http://www.kutaikartanegara.com/senibudaya/tari.html

1. Tari Gantar
Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya.

Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.

Tari Perang
Tari Perang

2. Tari Kancet Papatai / Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari.

Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.

Tari Kancet Ledo

3. Tari Kancet Ledo / Tari Gong
Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.

Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dan pada kedua tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.

4. Tari Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.

5.Tari Leleng
Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.

Tari Hudoq

6. Tari Hudoq
Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.

7. Tari Hudoq Kita'
Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita' dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita' menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita', yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.

8. Tari Serumpai
Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).
Belian
Tari Belian Bawo

9. Tari Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.

10. Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.

11. Tari Pecuk Kina
Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.

12. Tari Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.

13. Tari Ngerangkau
Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.

14. Tari Baraga' Bagantar
Awalnya Baraga' Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.

Catatan Sejarah Kalimantan Selatan

Catatan Sejarah Kalimantan Selatan

 
2 Votes


Balai Seba Gedung Mahligai Pancasila salah satu bangunan dalam kompleks rumah jabatan Gubernur KalSel.
Sejarah Pemerintahan di Kalimantan Selatan diperkirakan dimulai ketika berdiri Kerajaan Tanjung Puri sekitar abad 5-6 Masehi. Kerajaan ini letaknya cukup strategis yaitu di Kaki Pegunungan Meratus dan di tepi sungai besar sehingga di kemudian hari menjadi bandar yang cukup maju. Kerajaan Tanjung Puri bisa juga disebut Kerajaan Kahuripan, yang cukup dikenal sebagai wadah pertama hibridasi, yaitu percampuran antarsuku dengan segala komponennya. Setelah itu berdiri kerajaan Negara Dipa yang dibangun perantau dari Jawa.
Pada abad ke 14 muncul Kerajaan Negara Daha yang memiliki unsur-unsur Kebudayaan Jawa akibat pendangkalan sungai di wilayah Negara Dipa. Sebuah serangan dari Jawa menghancurkan Kerajaan Dipa ini. Untuk menyelamatkan, dinasti baru pimpinan Maharaja Sari Kaburangan segera naik tahta dan memindahkan pusat pemerintahan ke arah hilir, yaitu ke arah laut di Muhara Rampiau. Negara Dipa terhindar dari kehancuran total, bahkan dapat menata diri menjadi besar dengan nama Negara Daha dengan raja sebagai pemimpin utama. Negara Daha pada akhirnya mengalami kemunduran dengan munculnya perebutan kekuasaan yang berlangsung sejak Pangeran Samudra mengangkat senjata dari arah muara, selain juga mendirikan rumah bagi para patih yang berada di muara tersebut.
Pemimpin utama para patih bernama MASIH. Sementara tempat tinggal para MASIH dinamakan BANDARMASIH. Raden Samudra mendirikan istana di tepi sungai Kuwin untuk para patih MASIH tersebut. Kota ini kelak dinamakan BANJARMASIN, yaitu yang berasal dari kata BANDARMASIH.
Kerajaan Banjarmasin berkembang menjadi kerajaan maritim utama sampai akhir abad 18. Sejarah berubah ketika Belanda menghancurkan keraton Banjar tahun 1612 oleh para raja Banjarmasin saat itu panembahan Marhum, pusat kerajaan dipindah ke Kayu Tangi, yang sekarang dikenal dengan kota Martapura.
Awal abad 19, Inggris mulai melirik Kalimantan setelah mengusir Belanda tahun 1809. Dua tahun kemudian menempatkan residen untuk Banjarmasin yaitu Alexander Hare. Namun kekuasaanya tidak lama, karena Belanda kembali.
Babak baru sejarah Kalimantan Selatan dimulai dengan bangkitnya rakyat melawan Belanda. Pangeran Antasari tampil sebagai pemimpin rakyat yang gagah berani. Ia wafat pada 11 Oktober 1862, kemudian anak cucunya membentuk PEGUSTIAN sebagai lanjutan Kerajaan Banjarmasin, yang akhirnya dihapuskan tentara Belanda Melayu Marsose, sedangkan Sultan Muhammad Seman yang menjadi pemimpinnya gugur dalam pertempuran. Sejak itu Kalimantan Selatan dikuasai sepenuhnya oleh Belanda.
Daerah ini dibagi menjadi sejumlah afdeling, yaitu Banjarmasin, Amuntai dan Martapura. Selanjutnya berdasarkan pembagian organik dari Indisch Staatsblad tahun 1913, Kalimantan Selatan dibagi menjadi dua afdeling, yaitu Banjarmasin dan Hulu Sungai. Tahun 1938 juga dibentuk Gouverment Borneo dengan ibukota Banjarmasin dan Gubernur Pertama dr. Haga.
Setelah Indonesia merdeka, Kalimantan dijadikan propinsi tersendiri dengan Gubernur Ir. Pangeran Muhammad Noor. Sejarah pemerintahan di Kalimanatn Selatan juga diwarnai dengan terbentuknya organisasi Angkatan Laut Republik Indonesia ( ALRI ) Divisi IV di Mojokerto, Jawa Timur yang mempersatukan kekuatan dan pejuang asal Kalimantan yang berada di Jawa.
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Linggarjati menyebabkan Kalimantan terpisah dari Republik Indonesia. Dalam keadaan ini pemimpin ALRI IV mengambil langkah untuk kedaulatan Kalimantan sebagai bagian wilayah Indonesia, melalui suatu proklamasi yang ditandatangani oleh Gubernur ALRI Hasan Basry di Kandangan 17 Mei 1949 yang isinya menyatakan bahwa rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan memaklumkan berdirinya pemerintahan Gubernur tentara ALRI yang melingkupi seluruh wilayah Kalimantan Selatan. Wilayah itu dinyatakan sebagai bagian dari wilayah RI sesuai Proklamasi kemerdekaaan 17 agustus 1945. Upaya yang dilakukan dianggap sebagai upaya tandingan atas dibentuknya Dewan Banjar oleh Belanda.
Menyusul kembalinya Indonesia ke bentuk negara kesatuan kehidupan pemerintahan di daerah juga mengalamai penataaan. Di wilayah Kalimantan, penataan antara lain berupa pemecahan daerah Kalimantan menjadi 3 propinsi masing-masing Kalimantan Barat, Timur dan Selatan yang dituangkan dalam UU No.25 Tahun 1956.
Berdasarkan UU No.21 Tahun 1957, sebagian besar daerah sebelah barat dan utara wilayah Kalimantan Selatan dijadikan Propinsi Kalimantan Tengah. Sedangkan UU No.27 Tahun 1959 memisahkan bagian utara dari daerah Kabupaten Kotabaru dan memasukkan wilayah itu ke dalam kekuasaan Propinsi Kalimantan Timur. Sejak saat itu Propinsi Kalimantan Selatan tidak lagi mengalami perubahan wilayah, dan tetap seperti adanya. Adapun UU No.25 Tahun 1956 yang merupakan dasar pembentukan Propinsi Kalimantan Selatan kemudian diperbaharui dengan UU No.10 Tahun 1957 dan UU No.27 Tahun 1959.
dibawah ini bebrapa catatan sejarah banjarmasin
* 8000 SM : Migrasi I, Manusia ras Austrolomelanesia mendiami gua-gua di pegunungan Meratus. Ras ini melanjutkan migrasi ke pulau Papua dan Australia. Fosilnya ditemukan di Gua Babi di Gunung Batu Buli, Desa Randu, Muara Uya, Tabalong.
* 2500 SM : Migrasi II yaitu bangsa Melayu Proto dari pulau Formosa (Taiwan) ke pulau Borneo dengan membawa adat ngayau yang menjadi nenek moyang suku Dayak (rumpun Ot Danum).
* 1500 SM : Migrasi bangsa Melayu Deutero ke pulau Borneo.
* 400 : Migrasi orang India (Tamil) menyebarkan agama Hindu ke Kalimantan, bersamaan dengan migrasi orang Sumatera yang membawa bahasa Melayu dan mulai tumbuhnya Bahasa Banjar archais.
* 242 – 1362 : Berdirinya Kerajaan Tanjungpuri di Tanjung, Tabalong yang didirikan suku Melayu.
* 600 : Suku Dayak Maanyan melakukan migrasi ke pulau Bangka selanjutnya ke Madagaskar.
* 1025 : migrasi suku Melayu dari Kerajaan Sriwijaya akibat serangan tentara Cola Mandala (India).
* 1355 : Ampu Jatmika mendirikan pemukiman dan Candi Laras dengan pondasi tiang pancang ulin yang disebut kalang-sunduk di wilayah rawa daerah aliran sungai Amas dan menobatkan dirinya sebagai raja Kerajaan Negara Dipa.
* 1355 : Ampu Jatmika menaklukan penduduk asli wilayah Banua Lima yaitu lima daerah aliran sungai (DAS) yaitu Batang Alai, Tabalong, Balangan, Pitap, dan Amandit serta daerah perbukitan (Bukit), selanjutnya mendirikan Candi Agung di Amuntai Tengah, Hulu Sungai Utara.
* 1360 : Lambung Mangkurat, Patih Kerajaan Negara Dipa berangkat ke Majapahit untuk melamar Raden Putra, sebagai calon suami Putri Junjung Buih.
* 1362 : Wilayah Barito, Tabalong dan Sawuku menjadi daerah taklukan Kerajaan Majapahit. Hancurnya Kerajaan Nan Sarunai, kerajaan Suku Dayak Maanyan karena serangan Majapahit. Pangeran Suryanata dari Majapahit berhasil menjadi raja Negara Dipa.
* 1362 – 1448 : berdirinya Kerajaan Negara Dipa dibawah Maharaja Suryanata.
* 1385 – 1421 : masa pemerintahan Pangeran Surya Gangga Wangsa
* 1421 – 1436 : masa pemerintah Raden Carang Lalean
* 1436 – 1448 : masa pemerintahan Putri Kalungsu
* 1448- 1526 : Masa Kerajaan Negara Daha, Raden Sekar Sungsang dengan gelar Maharaja Sari Kaburungan menjadi Raja pertama.
* 1448 : Bandar Muara Bahan ditetapkan sebagai Bandar kerajaan menggantikan Bandar Muhara Rampiau, ditunjuk Patih Arya Taranggana putera Aria Magatsari memimpin di bandar itu.
* 1448 – 1486 : masa pemerintahan Raden Sekar Sungsang dengan gelar Maharaja Sari Kaburangan
* 1486 – 1515 : masa pemerintahan Raden Paksa dengan gelar Maharaja Sukarama
* 1511 : migrasi suku melayu akibat runtuhnya Kerajaan Malaka diserang Portugis, migrant ini mendiami sepanjang sungai Kuin.
* 1515 : Maharaja Sukarama wafat, diwasiatkan yang menjadi raja adalah Pangeran Samudra.
* 1515 – 1519 : masa pemerintahan Arya Mangkubumi, arya Mangkubumi dibunuh Sa’ban atas suruhan Pangeran Tumanggung; Pangeran Samudra melarikan diri ke hilir Barito.
* 1518-1521 : Pati Unus, Sultan Demak menaklukan kerajaan-kerajaan Kalimantan seperti Tanjungpura/Sukadana, Lawai, Sambas sebelum menyerang Portugis di Malaka pada 1521.
* 1519 – 1526 : masa pemerintahan Pangeran Tumanggung (Raden Panjang).
* 1520 : penobatan Raden Samudera oleh Patih Masih sebagai raja di Muara Kuin dengan gelar Pangeran Samudera.
* 6 September 1526 : pertempuran antara Kerajaan Banjar dipimpin Pangeran Samudra dengan Kerajaan Negara Daha dipimpin Pangeran Tumenggung di Jingah Besar, Pangeran Samudra dibantu Kesultanan Demak.
* 24 September 1526 : kemenangan Pangeran Samudra dan pembentukan Kesultanan Banjar, dengan memasukkan Kerajaan Nagara Daha.
* 1526-1545 : Masa pemerintahan Pangeran Samudera.
* 24 September 1526/6 Zulhijjah 932 H : Pangeran Samudera memeluk Islam dengan gelar di dalam khutbah Sultan Suryanullah/Sultan Suriansyah.
* 1550-1570 : Masa pemerintahan Sultan Rahmatullah (Raja II) di Banjarmasin
* 1570-1620 : Masa pemerintahan Sultan Hidayatullah (Raja III) di Banjarmasin
* 1520-1620 : Masa pemerintahan Marhum Panembahan dengan gelar Sultan Musta’inbillah (Raja IV) di Banjarmasin hingga 1612.
* 1596 : Belanda merampas 2 perahu lada dari Banjarmasin yang berdagang di Kesultanan Banten.
* 14 Februari 1606 : Ekspedisi Belanda dipimpin Koopman Gillis Michaelszoon tiba di Banjarmasin, karena perangainya yang buruk Michaelszoon tewas terbunuh.
* 1612 : Belanda membakar Istana Raja Banjar Lama (kampung Keraton) di Kuin, sehingga ibukota kerajaan dipindahkan dari Banjarmasin ke Martapura.
* 1620 – 1637 : masa pemerintahan Ratu Agung dengan gelar Sultan Inayatullah (Raja V).
* 1634 : VOC-Belnda menirim 6 kapal dibawah pimpinan Gijsbert van Londensteijn kemudian ditambah beberapa kapal di bawah pimpinan Antonie Scop dan Steven Batrentz.
* 1635 : VOC-Belanda mendirikan kantor dagang di Banjarmasin di bawah pimpinan Wollebrandt Gelenysen de Jonge sejak 29 November 1635.
* 1637 – 1642 : masa pemerintahan Ratu Anom dengan gelar Sultan Saidulllah (Raja VI).
* 1638 : seorang Asisten Belanda terbunuh di Benua Anyar, pertempuran juga menewakan 64 orang bangsa Belanda, selanjutnya 27 orang Martapura terbunuh, dibalas 40 orang Belanda tewas.
* 1642 – 1660 : masa pemerintahan Pangeran Ratu dengan gelar Sultan Rakyat Allah (Raja VII).
* 1660 – 1663 : masa pemerintahan Raden Bagus dengan gelar Sultan Amrullah Bagus Kasuma (Raja VIII).
* 1660 : Diadakan perjanjian perdamaian antara Belanda dan Banjar; Pangeran Dipati Tuha (anak Sultan Saidullah) mengamankan wilayah Tanah Bumbu dari pendatang. [2]
* 1663 – 1679 : masa pemerintahan Pangeran Suryanata II degan gelar Sultan Agung.
* 1664 : perubahan nama Banjarmasih menjadi Banjarmassingh (dialek Belanda).
* 1668 : Portugis mendatangkan pendeta Katolik bernama Jentigmilia ke wilayah Kesultanan Banjarmasin.[3]
* 1680 – 1700 : masa pemerintahan Sultan Tahlilullah/Amrulllah Bagus Kusuma kembali.
* 1700 – 1734 : masa pemerintahan Sultan Hamidullah/Ilhamidullah/Tahmidullah I.
* 1734-1759 : Masa pemerintahan Sultan Tamjidillah I di Martapura.
* 1734 : Puana Dekke miminjam tanah di wilayah Tanah Kusan kepada Sultan Tamjidullah I yang dinamakan kampung Pagatan, kelak menjadi Kerajaan Pagatan pada masa Sultan Sulaiman.
* 1759 – 1761 : masa pemerintahan Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah.
* 1761 – 1801 : masa pemerintahan Sultan Tahmidullah II/Sunan Sulaiman Saidullah
* 1780 : Pangeran Mangku (Gusti Ali) bin Pangeran Prabu menjadi raja Sampanahan.[2]Kota Banjarmasin di bawah otoritas Pangeran Dapa, putera tertua Sultan Banjar[4]
* 14 Mei 1787 : Pangeran Amir (kakek Antasari) menyerang Martapura dengan tentara Bugis, namun ditangkap Belanda, selanjutnya diasingkan ke Srilangka.
* 1801 – 1825 : masa pemerintahan Sultan Sulaiman Saidullah.
* 1815 – 1816 : Inggris menguasai Maluka, Liang Anggang, Kurau dan Pulau Lamai (kelak dinamakan Distrik Maluka, dibawah Alexander Here yang menjadi Resident-commissioner sejak 1812.[5]
* 1825 – 1857 : masa pemerintahan Sultan Adam al-Watsiqu billah.
* 1835: Zending dari Jerman mulai bekerja di selatan Kalimantan.[6]
* 15 Muharam 1251 H/1825 : Undang Undang Sultan Adam (UUSA 1825).
* 1852 : pengangkatan Pangeran Tamjidillah II sebagai Sultan Muda, merangkap Mangkubumi yang sudah dijabatnya sebelumnya menggantikan Ratu Anom Mangku Bumi Kencana.
* 30 April 1856 : Belanda menerima konsesi tambang batu bara yang ditandatangani Sultan Adam.
* 9 Oktober 1856 : Pengangkatan Pangeran Hidayatullah sebagai Mangkubumi, sedangkan Sultan Muda tetap Pangeran Tamjidillah II.
* 1 November 1857 : Sultan Adam wafat.
* 3 November 1857 – 25 Juni 1859 : Masa pemerintahan Sultan Tamjidillah II, yang disetujui Belanda sebagai raja Banjar.
* 3 November 1857 : pertemuan rencana perang melawan Belanda di Martapura, antara Pangeran Hidayatullah, Pangeran Prabu Anom dan Nyai Ratu Kamala Sari (permaisuri Sultan Adam).
* 23 Februari 1858 : Pangeran Prabu Anom (anak Sultan Adam) dibuang ke Bandung.
* September 1858 : Tumenggung Jalil tidak mau lagi membayar pajak kepada Belanda.
* 2 Februari 1859 : kedatangan bantuan tentara Belanda dengan Kapal Arjuna, namun 3 hari kemudian dipulangkan lagi ke Batavia.
* Februari 1859 : Ratu Kemala Sari dan anak-anaknya menyerahkan kerajaan dengan Pangeran Hidayatullah.
* 28 April 1859 : Pecahnya Perang Banjar, Pasukan Antasari dengan 300 prajurit menyerang tambang batubara milik Belanda di Pengaron, Serangan di Marabahan, Serangan di Gunung Jabuk, Serangan di Tabanio, dipimpin Demang Lehman, H. Buyasin dan Kyai Langlang, Serangan di Pulau Petak, Pulau Telo, dan disepanjang Sungai Barito, dipimpin Tumenggung Surapati dan Pambakal Sulil, Sweeping di Banua Lima, dipimpin Tumenggung Jalil, Pambakal Gafur, Duwahap, Dulahat, dan Penghulu Abdul Gani, dan Serangan terhadap Kapal Cipanas di Martapura
* 29 April 1859, tambang batu bara Oranye Nassau diserbu.
* 1 Mei 1859, pasukan Antasari menyerang tambang batu baru Juliana Hermina, serangan di Kalangan, Banyu Irang, dan Bangkal dipimpin Pangeran Arya Ardi Kesuma.
* Juni 1859 : pertempuran di Sungai Besarah dipimpin Pambakal Sulil
* 8 Juni 1859 : Belanda mengumumkan keadaan darurat perang.
* 12 Juni 1859 : bantuan tentara Belanda datang dengan Kapal Arjuna, Celebes, Montrado, Bone, dan van Os.
* 14 Juni 1859 : pertemuan Pangeran Hidayat dengan Andressen, namun buntu.
* 15 juni 1859 : Sweeping oleh Belanda di Martapura.
* 17 Juni 1859 : pertempuran di Sungai Raya.
* 25 Juni 1859 : Sultan Tamjidillah II dimakhzulkan oleh Belanda, terjadi pertempuran di Cempaka.
* 30 Juni 1859 : serangan ke Martapura dipimpin Demang Lehman, 10 pejuang gugur.
Juli 1859 : tenggelamnya Kapal Cipanas di Pulau Kanamit.
* 16 Juli 1859 : Sultan Tamjidillah II dan Pangeran Adipati Panoto Negoro Adiprojo di buang ke Jawa.
* Agustus 1859 : serangan ke Banjarmasin dipimpin Kyai Mangun Karsa, pertempuran di benteng Tabanio, dipimpin Demang Lehman dan H. Buyasin.
* September 1859 : pertemuan Pangeran Hidayat dengan panglima-panglima, Pangeran Hidayat dinobatkan menjadi Raja.
* 27 September 1859 : pertempuran di Gunung Lawak, dipimpin Demang Lehman, Aminullah, Antaludin, dan Ali Akbar.
* 28 September 1859 : bantuan tentara Belanda dari Surabaya.
* 13 November 1859 : Verspyck mengeluarkan ultimatum agar Pangeran Hidayatullah menyerah dalam 20 hari.
* 14 November 1859 : gugurnya Pambakal Sulil di Sungai Basarah.
* 23 Desember 1859 : pertempuran di Kuala Kapuas oleh suku Dayak.
* 26 Desember 1859 : tenggelamnya Kapal Onrust oleh Tumenggung Surapati di Lontontour.
* Desember 1859, Tumenggung Antaluddin bersama dengan Demang Lehman, Pangeran Aminullah, Kusin dan Ali Akbar, mempertahankan Benteng Munggu Tayur.
* 2 Januari 1860 : serangan terhadap Kapal van Os di Pulau Petak
* 9 Februari 1860 : serangan terhadap Kapal Suriname di Lontontour, kapal sampai rusak; pertempuran Masjid Amuntai.
* 22 Februari 1860 : serangan terhadap Kapal Montrado di Lontontour
* 31 Maret 1860 : penyerbuan Benteng Amawang dipimpin Demang Lehman.
* 18 Maret 1860 : pertempuran di Pamangkih, Walangku, Kasarangan, Pantai Hambawang, Barabai, dan Aluan.
* 15 Mei 1860 : pertempuran di Tanjung, dipimpin Tumenggung Jalil.
* 11 Juni 1860 : Kesultanan Banjar dihapuskan secara sepihak oleh Belanda, dengan proklamasi yang ditandatangani Residen Surakarta FN.Nieuwenhuijzen yang merangkap Komisaris Pemerintah Belanda untuk Daerah Afdeeling Kalimantan Selatan-Timur.
* 9 Agustus 1860 : serangan terhadap Benteng Kelua, dipimpin Pangeran Antasari.
* 17 Agustus 1860 : Pangeran Antasari mendirikan Benteng Tabalong.
* 27 Agustus 1860 : serangan di Martapura dipimpin Pangeran Muda.
* September 1860 : pertempuran di Rumpanang dan Tambarangan, dipimpin Singa Jaya.
* 3 September 1860 : Pertempuran Benteng Madang pertama, dipimpin Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin.
* 4 September 1860 : pertempuran Benteng Madang kedua
* 13 September 1860 : pertempuran Benteng Madang ketiga
* 15 September 1860 : pertempuran di Sungai Malang, Amuntai, dipimpin H. Abdullah.
* 18 September 1860 : pertempuran Benteng Madang Keempat
* 22 September 1860 : pertempuran Benteng Madang kelima.
* 13 Oktober 1860 : pertempuran Benteng Batu Mandi, dipimpin Tumenggung Jalil.
* 17 Oktober 1860 : pertempuran di Jati, dipimpin Kyai Jayapati.
* 25 Oktober 1860 : pertempuran di Bulanin, dipimpin Demang Lehman.
* 27 Oktober 1860 : pertempuran di Jati lagi, dipimpin Kyai Jayapati dan Demang Jaya Negara Seman.
* November 1860 : pertempuran di masjid Jati, dipimpin Tumenggung Diparaksa.
* 1 November 1860 : Belanda mendinamit bangkai Kapal Onrust di Lontontour.
* 24 Februari 1861 : pertempuran di Amalang dan Maleno, dipimpin Demang Lehman dan Guna Wijaya.
* 3 Maret 1861 : pertempuran di Rantau, dipimpin Jaya Warna.
* 19 Maret 1861 : pertempuran di Karang Intan, dipimpin Tumenggung Gamar.
* 21 April 1861 : Pertempuran benteng Amawang, 2 tahun Perang Banjar, dipimpin Tumenggung Antaludin dan Demang Lehman, tewasnya Von Ende.
* 23 April 1861 : serangan di Bincau.
* April 1861 : penangkapan dan hukuman mati untuk Pangeran Kasuma Ningrat (paman Pangeran Hidayat), Kyai Nakut, dan Pambakal Matamin; pertempuran di Binuang, Tumpakan Mati, Karang Jawa, Kandangan dan Nagara.
* 4 Mei 1861 : Pertempuran Paringin antara pasukan Antasari melawan Belanda.
* 13 Mei 1861 : pertempuran di Gunung Wowong, Karau, Dayu dan Sihong.
* 16 Mei 1861 : serangan di Paringin dipimpin H. Dulgani.
* 18 Mei 1861 : pertempuran di Pagat.
* 27 Mei 1861 : pertempuran di Barabai dipimpin Gusti Wahid.
* Mei 1861 : pertempuran di Martapura, Tanah Laut, Rantau, Kandangan, Barabai, Amuntai, Paringin, Tabalong dan daerah Barito.
* 10 Juni 1861 : pertempuran di Gunung Kupang, Awang Bangkal, dan Batu Mahalon.
* 18 Juni 1861 : serangan awal di Martapura.
* 19 Juni 1861 : pertempuran di Gunung Pamaton dipimpin Pangeran Hidayatullah.
* 20 Juni 1861 : pertempuran di Kuala Tambangan dipimpin Tumenggung Gamar.
* 22 Juni 1861 : serangan di Mataraman dan Suwatu dipimpin Pambakal Mail dan Tumenggung Buko.
* 3 Juli 1861 : serangan di benteng Barabai dipimpin Raksa Yuda.
* 18, 22, 24 Juli 1861 : pertempuran di Buntok.
* Agustus 1861 : Pertempuran di Gunung Pamaton dan Gunung Halau-halau dipimpin Tumenggung Antaludin dan Kiai Cakrawati (Galuh Sarinah).
* 1 Agustus 1861 : pertempuran di benteng Limpasu, tewasnya Letnan Hoyyel.
* 10 Agustus 1861 ; pertempuran di benteng Pagger dipimpin Pangeran Singa Terbang.
* 2 September 1861 : pertempuran di benteng Batu Putih, gugurnya Pangeran Singa Anum dan Gusti Matali.
* 24 September 1861 : gugurnya Tumenggung Jalil pada pertempuran Benteng Tundakan.
* 2 Oktober 1861 : Demang Lehman masuk Martapura menemui Regent Martapura.
* 6 oktober 1861 : Demang Lehman ke Banjarmasin berunding dengan Resident Verpyck, perundingan secara empat mata, selesai perundingan rombongan kembali ke Martapura.
* 8 Oktober 1861 : pertempuran di Habang dan Kriniang dipimpin H. Badur
* 18 Oktober 1861 : pertempuran di Banua Lawas dipimpin H. Badur
* Oktober 1861 : pertempuran di Banua Lawas dan Teluk Pelaeng, gugur 18 orang.
* 6 November 1861 : pertempuran di Pelari, dipimpin Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati.
* 8 November 1861 : pertempuran di Gunung Tungka dipimpin Pangeran Antasari, Tumenggung Surapati dan Gusti Umar, tewasnya Kapten Van Vloten.
* 9 November 1861 : serangan di Teluk Selasih, tewasnya Regent amuntai.
* 25 Nopember 1861 : pertemuan Pangeran Hidayatullah dengan Demang Lehman, dan diputuskan Pangeran Hidayatullah menemui Ibu Ratu Siti di Martapura.
* November 1861 ; pertempuran di Gunung Marta Niti Biru dan Kria Wijaya Bepintu, dipimpin Kyai Karta Nagara.
* 5 Desember 1861 : pertempuran di Jatuh dipimpin Penghulu Muda, tewasnya Opsir Koch.
* 15 Desember 1861 : pertempuran di Banua Lawas, tewasnya Letnan Ajudan I Cateau van Rosevelt.
* 16 Desember 1861 : terbunuhnya Kontrolir Fujick di Margasari dan Letnan Croes juga tewas di Sungai Jaya, oleh Tagab Obang.
* 28 Januari 1862 : Pangeran Hidayatullah dan Ratu Siti masuk Martapura, berdiam di rumah Residen Martapura.
* 30 – 31 Januari 1862 : perundingan antara Pangeran Hidayatullah dengan Regent Letnan Kolonel Verpyck di pendopo rumah Asisten Resident, Pangeran Hidayatullah tertipu oleh janji Belanda.
* 3 Februari 1862 : Pangeran Hidayatullah menuju ke Pasayangan.
* 4 Februari 1862 : Pangeran Hidayatullah meninggalkan Pasayangan menuju Pamaton; Masjid Pasayangan berumur 140 tahun dibakar Belanda.
* 22 Februari 1862 : tertangkapnya Ratu Siti; dibawanya Pangeran Wira Kasuma ke Banjarmasin.
* 28 februari 1862 : Pangeran Hidayatullah masuk Martapura menemui Ratu Siti di pendopo Regent Martapura.
* 3 Maret 1862 : Pangeran Hidayatullah dibawa dengan Kapal Bali menuju Batavia, dikawal Kontrolir Kuin Letnan Verstege.
* 14 Maret 1862 (13 Ramadhan 1278 H) : Pangeran Antasari di dinobatkan sebagai Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin, sebagai kepala pemerintahan, pemimpin agama, dan panglima tertinggi pengganti Sultan Banjar.
* 11 Oktober 1862 : wafatnya Pangeran Antasari di Tanah Kampung Bayan Begok Sampirang, Murung Raya.
* 1862 – 1905 : masa pemerintahan Sultan Muhammad Seman.
* 19 Oktober 1863 : tertangkapnya Sultan Kuning.
* 1864 : serangan Tumenggung Surapati di Muara Teweh dan Montalat
* 27 Februari 1864 : Demang Lehman dihukum gantung di lapangan Martapura, ketika tertangkap ia memegang pusaka Keris Singkir dan Tombak Kalibelah.
* 1865 : Penghulu Rasyid gugur di Kelua, Tumenggung Naro gugur di Gunung Kayu, Balangan.
* 26 Januari 1866 : H. Buyasin gugur.
* 1867 : serangan Tagap Kurdi di Amuntai.
* 1870 : serangan Panglima Wangkang di Marabahan dan Banjarmasin.
* 1875 : wafatnya Tumenggung Surapati karena sakit.
* 1883 : serangan Sultan Muhammad Seman di Tanjung, Amuntai dan Balangan.
* 1 Juli 1883 : serangan di Lampihong.
* 1885 : ditangkapnya Pangeran Perbatasari di Pahu, Kutai, kemudian ia dibuang ke Kampung Jawa Tondano, Minahasa.
* 1886 : serangan Tumenggung Gamar di Tanah Bumbu.
* 1899 : Residen C.A Kroesen memimpin Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo
* 1899 : peristiwa Amuk Hantarukung dipimpin Bukhari
* 1904 : wafatnya Pangeran Hidayatullah di Cianjur; dibuangnya Gt. Muhammad Arsyad ke Bogor.
* 1906 : dibuangnya Ratu Zaleha ke Bogor, berkumpul suaminya (Gt. Muhammad Arsyad).
* 24 Januari 1905 : Sultan Muhammad Seman, putra Pangeran Antasari gugur melawan Belanda di benteng Baras Kuning.
* 24 Agustus 1905 : Panglima Batur ditangkap di Muara Teweh
* 1915 : Sarekat Islam mendirikan Madrasah Darussalam di Martapura.
* 1919 : Banjarmasin mendapat otonom pemerintahan menjadi Gemeente Bandjermasin.
* 1923 : National Borneo Congres ke-1
* 29-31 Maret 1924 : National Borneo Congres ke-2, dihadiri wakil-wakil Perserikatan Dayak dan Sarekat Islam lokal.
* 1927 : pemberontakan di Tabalong dipimpin Darmawi atas kerja paksa.
* 5 Maret 1930 : Keluarnya ketetapan no. 253 dan 254 tentang berdirinya cabang Muhammadiyah di Banjarmasin dan Alabio
* 1937 : kembalinya Ratu Zaleha dari pembuangan ke Martapura; pemberontakan Hariang, sehingga Kepala Distrik Kyai Masdhulhak tewas.
* 1938 – 1942 : masa Gubernur Borneo dr. A. Haga
* 1938 : Wester afdeeling van Borneo, Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo menjadi sebuah propinsi di Hindia Belanda. Gemeente Bandjermasin ditingkatkan menjadi Stads Gemeente Bandjermasin.
* 25 Desember 1941 : Jepang membom Lapangan Terbang Ulin
* 21 Januari 1942 : Jepang menembak jatuh pesawat Catalina-Belanda di sungai Barito perairan Alalak, Barito Kuala,
* 8 Februari 1942 : Jepang memasuki Muara Uya, Tabalong, Gubernur Haga mengungsi ke Kuala Kapuas menuju Puruk Cahu, Murung Raya.
* 10 Februari 1942 : Tentara Jepang memasuki Banjarmasin, sejak 6 Februari 1942 pemerintahan kota sudah vacum.
* Februari 1942 : Dengan persetujuan walikota Banjarmasin H. Mulder dibentuk Pimpinan Pemerintahan Civil (PPC) diketuai Mr. Rusbandi, sebagai pemerintahan sementara.
* 12 Februari 1942 : Tentara Jepang mengeluarkan maklumat kota Bajarmasin dan daerahnya diserahkan kepada PPC (Pimpinan Pemerintahan Civil)
* 5 Maret 1942 : A.A Hamidhan menerbitkan surat kabar Kalimantan Raya.
* 17 Maret 1942 : Gubernur A. Haga menyerah dengan Jepang di Puruk Cahu, kemudian ditahan di Benteng Tatas.
* 18 Maret 1942 : Kiai Pangeran Musa Ardi Kesuma ditunjuk Jepang sebagai Ridzie, penguasa penuh dan tertinggi pemerintah sipil meliputi wilayah Banjarmasin, Hulu Sungai dan Kapuas-Barito (Dayak Besar).
* 17 April 1945 : Rakyat Banjarmasin mulai diwajibkan memberi hormat dengan membungkukkan badan kepada setiap tentara Jepang baik yang naik sepeda, mobil dan sebagainya.
* 6 Mei 1945 : Pembentukan TRI pasukan MN 1001, MKTI (MN=Muhammad Noor)
* 18 Agustus 1945 : Pemerintahan Sukarno-Hatta menunjuk Ir. H. Pangeran Muhammad Noor sebagai gubernurKalimantan
* 23 Agustus 1945 : Berdirinya organisasi kelaskaran GEMIRI (Gerakan Rakyat Mempertahankan Republik Indonesia) di Kandangan, Hulu Sungai Selatan.
* Agustus 1945 : Berdirinya organisasi kelaskaran Badan Pemberontak Rakyat Kalimantan di Kandangan, Hulu Sungai Selatan.
* 23 September 1945 : Berdirinya organisasi kelaskaran Pasukan Berani Mati di Alabio, Hulu Sungai Utara.
* November 1945 : Berdirinya organisasi kelaskaran Laskar Syaifullah di Haruyan, Hulu Sungai Tengah.
* 9 November 1945 : Pertempuran di Banjarmasin melawan Sekutu.
* 20 November 1945 : Berdirinya organisasi kelaskaran GERPINDOM (Gerakan Rakyat Pengajar/Pembela Indonesia Merdeka) di Amuntai, Hulu Sungai Utara.
* 1945 : Berdirinya organisasi kelaskaran GERPINDOM (Gerakan Pemuda Indonesia Merdeka) di Birayang, Hulu Sungai Tengah, Barisan Pelopor Pemberontakan (BPPKL) di Martapura dan Banteng Borneo di Kota Rantau, Tapin serta Laskar Hasbullah di Martapura, Pelaihari, Rantau dan Hulu Sungai.
* 30 Oktober 1945 : penyusupan Hasan Basry dan kawan-kawan dari Surabaya dengan kapal Bintang Tulen.
* 5 – 7 Desember 1945 : Pertempuran Marabahan di Barito Kuala.
* 24 September 1946 : penangkapan lasykar Saifullah oleh Belanda di Kandangan pada saat pasar malam.
* 18 November 1946 : pembentukan Batalyon TNI ALRI DIVISI IV (A) oleh Hasan Basri dengan melebur Banteng Indonesia dan organisasi kemiliteran lainnya.
* Mei 1947 : pertempuran di Hambawang Pulasan, Barabai di pimpin H. Aberanie Sulaiman, 48 serdadu Belanda tewas sedangkan 1 orang pejuang gugur yaitu Made Kawis.[7]
* 3 Juli 1948 : Belanda melantik Dewan Banjar. [8]
* 18 Juli 1948 : peristiwa pertempuran di Wawai, 16 orang pejuang gugur.
* Agustus 1948 : pertempuran di Hambawang Pulasan, dekat Barabai dipimpin Aliansyah.
* 21 Desember 1948 : Pertempuran Hawang, Hulu Sungai Tengah.
* 2 Januari 1949 : Pertempuran di Negara di Hulu Sungai Selatan (Palagan Nagara).
* 7 Januari 1949 : pembentukan Panitia Persiapan Proklamasi Kalimantan, dengan ketua H. Aberanie Sulaiman.
* 6 Februari : Pertempuran Pagatan di Tanah Bumbu.
* 14 Februari 1949 : pertempuran di Batu Tangga, Birayang, 2 orang pejuang gugur.
* 15 April 1949 : Pertempuran Batakan di Tanah Laut.
* 15 Mei 1949 : Perumusan teks proklamasi di Telaga Langsat, dipimpin H. Aberanie Sulaiman.
* 16 Mei 1949 : penandatanganan teks proklamasi di Ni’ih oleh Hassan Basry.
* 17 Mei 1949 : Proklamasi Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan oleh Letkol. Hasan Basry (Pahlawan Nasional).
* 3 Juni 1949 : Pertempuran Serangan Umum Kota Tanjung di Tabalong.
* 8 Agustus 1949 : Pertempuran Garis Demarkasi di Karang Jawa.
* 2 September 1949 : perundingan antara TNI ALRI DIVISI (A) yaitu Hasan Basri dengan Belanda diwakili Jenderal Mayor Suharjo dan UNCI sebagai penengah di Munggu Raya, Kandangan.
* 2 September 1949 : pengakuan Angkatan Perang Republik Indonesia terhadap TNI ALRI DIVISI (A) sebagai bagian dari angkatan perang dan mengangkat Hasan Basri sebagai Komandan Batalyon dengan pangkat Letnan Kolonel.
* 1 November 1949 : peleburan TNI ALRI DIVISI (A) ke dalamTNI Angkatan Darat Divisi Lambung Mangkurat, dengan panglima Letkol Hasan Basri dan Kepala Staf Mayor H. Aberani Sulaiman.
* 01 Juni 1950 : pembentukan Kabupaten Kotabaru.
* 29 Juni 1950 : Kepmendagri No. C/17/15/3 wilayah Kalimantan dibagi menjadi 6 Kabupaten Administratif dan 3 Swapraja. Salah satunya Afdeling Van Hoeloe Soengai dibentuk menjadi Kabupaten Hulu Sungai dangan ibukota Kandangan.
* 14 Agustus 1950 : pembentukan Propinsi Kalimantan; pembentukan Kabupaten Banjar.
* 14 Agustus 1950 – 1953 : masa Gubernur dr. Mordjani
* 2 Desember 1950 : pembentukan Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dengan Bupati Syarkawi.
* 2 Mei 1952 : Berdirinya Kabupaten Amuntai.
* 1953 – 1955 : masa Gubernur Mas Subardjo
* 14 Januari 1953 : Perubahan nama Kabupaten Amuntai menjadi Kabupaten Hulu Sungai Utara.
* 14 Januari 1953 : Perubahan nama Kabupaten Amuntai menjadi Kabupaten Hulu Sungai Utara.
* 2-3 September 1953 : musyawarah tokoh-tokoh untuk pembentukan Kabupaten Barabai.
* 24 September 1953 : Wafatnya Ratu Zaleha, putri Sultan Muhammad Seman, sebelumnya diasingkan di Cianjur.
* 11 Januari 1954 : turun gunungnya Bulan Jihad (sahabat Ratu Zaleha) dari pedalaman Kalimantan.
* 4 April 1954 : pembentukan Panitia Penuntutan Kabupaten Barabai di rumah Asisten Wedana Abdul Muis Ridhani, ditunjuk sebagai ketua adalah A. Zaini.
* 1955 – 1957 : masa Gubernur Raden Tumenggung Arya Milono.
* 7 Desember 1956 : Terbentuknya provinsi Kalsel yaitu gabungan dari Kotawaringin, Dayak Besar, Daerah Banjar dan Federasi Kalimantan Tenggara. Belakangan Pasir (bagian Federasi Kalimantan Tenggara) bergabung ke provinsi Kalimantan Timur.
* 1957 – 1959 : masa Gubernur Syarkawi
* 23 Mei 1957 : Wilayah Kotawaringin dan Dayak Besar membentuk provinsi Kalimantan Tengah.
* 1958 : musyawarah masyarakat Tapin di Balai Rakyat menghasilkan Badan Musyawarah Penuntut Kabupaten Tapin, yang diketuai H Isbat
* 15 Maret 1958 : pembentukan Panitia Penuntutan Kabupaten Tabalong dengan ketua Juhri.
* 11 November 1958 : Pengangkatan kerangka Pangeran Antasari untuk dimakamkan di Komplek Makam Pahlawan Perang Banjar di Banjarmasin.
* 1959 – 1963 : masa Gubernur Maksid.
* 24 Desember 1959 : pembentukan Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
* 4 Januari 1960 : pembentukan Kabupaten Barito Kuala.
* 22 Agustus 1960 : pembekuan kegiatan PKI dan ormasnya oleh Kepala Penguasa Perang Daerah kalsel Brigjen Hasan Basri.
* 3 Juni 1961 : pembentukan Panitia Penuntutan Kabuapaten Tanah Laut (Panitia 17), dengan ketua Soeparjan.
* 1-2 Juli 1961 : musyawarah besar Tanah Laut menghasilkan pembentukan Panitia Penyalur Hasrat Rakyat Tuntutan Daswati II Tanah Laut yang diketuai H. M. N. Manuar.
* 1963 – 1963 : masa Gubernur Abu Jahid Bustami.
* 1963 – 1968 : masa Gubernur Aberani Sulaiman.
* 30 November 1965 : pembentukan Kabupaten Tapin.
* 1 Desember 1965 : pembentukan Kabupaten Tabalong.
* 02 Desember 1965 : pembentukan Kabupaten Tanah Laut.
* 1968 – 1970 : masa Gubernur Jasmani.
* 23 Maret 1968 : pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Pangeran Antasari.
* 1970 – 1980 : masa gubernur Subarjo Sosroroyo.
* 15 Januari 1979 : wafatnya Ir. Pangeran M. Noor, Gubernur Kalimantan pertama dimakamkan di Jakarta.
* 1980 – 1984 : masa Gubernur Mistar Cokrokusumo.
* 1984 – 1995 : masa Gubernur Ir. H.M. Said.
* 15 Juli 1984 : wafatnya Brigjen Hasan Basri, dimakamkan di Liang Anggang, Banjarbaru
* 10 November 1991 : Peresmian Museum Wasaka oleh Gubernur Kalsel Ir. H. Muhammad Said
* 23 Mei 1997 : Peristiwa Jumat Kelabu di Banjarmasin, kampanye pemilu yang berakhir kerusuhan bernuansa SARA (partai)
* 1995 – 2000 : masa Gubernur Gusti Hasan Aman.
* 2000 – 2005 : masa Gubernur Syahriel Darham.
* 20 April 2000 : pembentukan kota Banjarbaru.
* 3 November 2001 : pemberian gelar Pahlawan kemerdekaan untuk Brigjen Hasan Basri.
* 8 April 2006 : pembentukan Kabupaten Balangan dan Tanah Bumbu.
* 2005 – 2010 : masa Gubernur Rudy Ariffin.

sultan adam
Silsilah Kerajaan Banjar
Kerajaan Banjar adalah nama lain dari sebutan Kerajaan Banjarmasin atau Kesultanan Banjar. Kerajaan Banjar menurut M. Idwar Saleh (1981/1982) berdiri pada tanggal 24 September 1526 sebagai sebuah kerajaan Islam. Sebelum kerajaan ini berdiri, di Kalimantan Selatan sudah ada kerajaan lainnya yang bercorak sebagai negara suku yakni Nan Sarunai dan Tanjung Pura dan negara awal yakni Negara Dipa dan Negara Daha.
Kerajaan Tanjung Pura dan Nan Sarunai dapat dijelaskan sebagai negara yang rakyatnya melulu dari satu etnik (terutama etnik Maanyan) dan tatanannya diatur oleh tradisi yang ditransformasikan dari nenek moyang ke generasi berikutnya. Sedangkan negara awal merupakan suatu bentuk kerajaan transisi dari negara negara suku ke negara yang tatanan pemerintahannya yang lebih fomal atau teratur. Kerajaan Negara Dipa dan Negara Daha berperan dalam sejarah pembentukan Kerajaan Banjar di kemudian hari, karena silsilah raja-raja Banjar dapat ditelusuri atau berasal dari keturunan raja-raja Negara Dipa dan Negara Daha. Pada masa puncak kejayaannya, Kesultanan Banjar memiliki kekuasaan teritorial yang sangat luas, yakni meliputi wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah dan bahkan pengaruhnya sampai ke sebagian wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat saat sekarang.
Dalam buku Sejarah Banjar (Ideham, dkk. editor, 2003) disebutkan bahwa sejak berdirinya kerajaan Banjar pada 24 September 1526 sampai berakhirnya perang Banjar yang juga berakhirnya pemerintahan Pegustian sebagai penerus kerajaan Banjar tahun 1905, terdapat 19 orang raja yang pernah berkuasa. Sultan pertama adalah Sultan Suriansyah (1526-1545), raja pertama yang memeluk agama Islam, dan raja terakhir adalah Sultan Mohammad Seman yang meninggal dalam pertempuran melawan Belanda di Menawing – Puruk Cahu dalam tahun 1905. Kerajaan Banjar runtuh sebagai akibat kalah perang dalam Perang Banjar (1859-1905), yang merupakan perang menghadapi kolonialisme Belanda. Sultan Suriansyah sebagai sebagai raja pertama berkeraton di Kuwin Utara sekarang yang dahulu sebagai pusat pemerintahan dan pusat perdagangan, sedangkan raja terakhir Sultan Mohammad Seman berkeraton di Menawing-Puruk Cahu sebagai pusat pemerintahan pelarian dalam rangka menyusun kekuatan untuk melawan kolonialisme Belanda.
Raja-raja Banjar sejak berdirinya kerajaan Banjar sampai lenyapnya pemerintahan Pegustian di Menawing, adalah sebagai berikut :
1) Periode tahun 1526 – 1545: Pangeran Samudera, selanjutnya bergelar Sultan Suriansyah.
2) Periode tahun 1545 – 1570: Sultan Rahmatullah.
3) Periode tahun 1570 – 1595: Sultan Hidayatullah.
4) Periode tahun 1595 – 1620: Sultan Mustain Billah, Marhum Panembahan, yang dikenal sebagai Pangeran Kacil. Sultan inilah yang memindahkan keraton ke Kayutangi Martapura, karena keraton di Kuwin hancur di serang Belanda pada tahun 1612.
5) Periode tahun 1620 – 1637: Ratu Agung bin Marhum Panembahan yang bergelar Sultan Inayatullah.
6) Periode tahun 1637 – 1642: Ratu Anum bergelar Sultan Saidullah.
7) Periode tahun 1642 – 1660: Adipati Halid (Pangeran Tapesana).
8) Periode tahun 1660 – 1663: Amirullah Bagus Kesuma memegang kekuasaan, 1663.
9) Periode tahun 1663 – 1679: Pangeran Adipati Anum setelah merebut kekuasaan dari Amirullah Bagus Kesuma dan memindahkan keraton ke Banjarmasin bergelar Sultan Agung.
10) Periode tahun 1680 – 1700: Amirullah Bagus Kesuma.
11) Periode tahun 1700 – 1734: Sultan Hamidullah gelar Sultan Kuning.
12) Periode tahun 1734 – 1759: Pangeran Tamjid bin Sultan Amirullah Bagus Kesuma bergelar Sultan Tamjidillah.
13) Periode tahun 1759 – 1761: Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan Kuning.
14) Periode tahun 1761 – 1801: Pangeran Nata Dilaga sebagai wali putera Sultan Muhammad Aliuddin yang belum dewasa tetapi memegang pemerintahan dan bergelar Sultan Tahmidullah.
15) Periode tahun 1801 – 1825: Sultan Suleman Almutamidullah bin Sultan Tahmidullah.
16) Periode tahun 1825 – 1857: Sultan Adam Al Wasik Billah bin Sultan Suleman.
17) Periode tahun 1857 – 1859: Pangeran Tamjidillah.
18) Periode tahun 1859 – 1862: Pangeran Antasari yang bergelar Panembahan Amir Oeddin Khalifatul Mu’mina.
19) Periode tahun 1862 – 1905: Sultan Muhammad Seman.

RUMAH BETANG: Rumah Adat dan Budaya Dayak yang Hampir Tersingkirkan

RUMAH BETANG: Rumah Adat dan Budaya Dayak yang Hampir Tersingkirkan

 
2 Votes

Terinspirasi dan bersumber dari buku “Pergulatan Identitas Dayak Dan Indonesia: Belajar dari Tjilik Riwut” Penerbit Galangpress, April 2006.
rumah betang
Rumah Betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru Kalimantan, terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat pemukiman suku Dayak, dimana sungai merupakan jalur transportasi utama bagi suku Dayak untuk melakukan berbagai mobilitas kehidupan sehari-hari seperti pergi bekerja ke ladang dimana ladang suku Dayak biasanya jauh dari pemukiman penduduk, atau melakukan aktifitas perdagangan (jaman dulu suku Dayak biasanya berdagang dengan menggunakan system barter yaitu dengan saling menukarkan hasil ladang, kebun maupun ternak).
Bentuk dan besar rumah Betang ini bervariasi di berbagai tempat. Ada rumah Betang yang mencapai panjang 150 meter dan lebar hingga 30 meter. Umumnya rumah Betang di bangun dalam bentuk panggung dengan ketinggian tiga sampai lima meter dari tanah. Tingginya bangunan rumah Betang ini saya perkirakan untuk menghindari datangnya banjir pada musim penghujan yang mengancam daerah-daerah di hulu sungai di Kalimantan. Beberapa unit pemukiman bisa memiliki rumah Betang lebih dari satu buah tergantung dari besarnya rumah tangga anggota komunitas hunian tersebut. Setiap rumah tangga (keluarga) menempati bilik (ruangan) yang di sekat-sekat dari rumah Betang yang besar tersebut, di samping itu pada umumnya suku Dayak juga memiliki rumah-rumah tunggal yang dibangun sementara waktu untuk melakukan aktivitas perladangan, hal ini disebabkan karena jauhnya jarak antara ladang dengan tempat pemukiman penduduk.
Lebih dari bangunan untuk tempat tinggal suku dayak, sebenarnya rumah Betang adalah jantung dari struktur sosial kehidupan orang Dayak.
rumah betang
Budaya Betang merupakan cerminan mengenai kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari orang Dayak. Di dalam rumah Betang ini setiap kehidupan individu dalam rumah tangga dan masyarakat secara sistematis diatur melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam hukum adat. Keamanan bersama, baik dari gangguan kriminal atau berbagi makanan, suka-duka maupun mobilisasi tenaga untuk mengerjakan ladang. Nilai utama yang menonjol dalam kehidupan di rumah Betang adalah nilai kebersamaan (komunalisme) di antara para warga yang menghuninya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Dari sini kita mengetahui bahwa suku Dayak adalah suku yang menghargai suatu perbedaan. Suku Dayak menghargai perbedaan etnik, agama ataupun latar belakang sosial.
Tetapi pada masa sekarang pun banyak orang luar (bahkan orang Indonesia sendiri) beranggapan bahwa suku Dayak adalah suku yang tertutup, individual, kasar dan biadab. Sebenarnya hal ini merupakan suatu kebohongan besar yang diciptakan oleh para colonial Belanda waktu masa perjuangan kemerdekaan Indonesia untuk memecah belah persatuan dan kesatuan terutama di antara suku Dayak sendiri yang pada saat itu menjunjung tinggi budaya rumah Betang. Dan kebohongan tersebut masih dianggap benar sampai sekarang oleh mereka yang tidak mengenal benar orang Dayak. Sebagai contoh, tulisan karya orang Belanda bernama J. Lameijn yang berjudul Matahari Terbit, dimana tulisan tersebut sangat merendahkan martabat masyarakat Dayak. Bagian tulisan itu sebagai berikut.
…. Setelah habis pertcakapan itu, cukuplah pengetahuan saya tentang orang Dayak. Sebelum itu saya sudah tahu, bahwa orang Dayak itu amat kasar dan biadab tabiatnya. Kalau tiada terpaksa, tiadalah saja berani berjalan sendiri ditanahnya, karena tentulah saja akan kembali tiada berkepala lagi”.
rumah betang
Citra buruk masyarakat Dayak di perparah lagi dengan timbulnya kerusuhan-kerusuhan etnis yang terjadi di Kalimantan yang di ekspos besar-besaran hingga keluar negeri (terutama melalui media internet) tanpa memandang sebab sebenarnya dari kerusuhan tersebut hanya memandang berdasarkan pembantaian massal yang terjadi, seperti kerusuhan di Kalimantan Barat (Sambas) dan Kalimantan Tengah (Sampit dan Palangkaraya). Saya sendiri berada di kota Sampit saat kerusuhan pertama kali pecah tanggal 18 Februari 2001 dan 2 hari kemudian saya berada di Palangkaraya, saat itu saya masih kelas 3 SMP. Berdasarkan pandangan saya atas kerusuhan etnis di Sampit dan Palangkaraya, dimana disini saya tidak berpihak pada suku manapun tapi saya lebih melihat berdasarkan fakta yang ada di lapangan selama saya tinggal di Sampit dari saya kecil hingga saat pecahnya konflik Sampit. Kerusuhan tersebut bukanlah akibat adanya tokoh-tokoh intelektual yang ingin mengacaukan keadaan atau perasaan cemburu suku Dayak karena etnis tertentu lebih berhasil dalam mencari nafkah di Kalimantan, tetapi lebih kepada terlukanya perasaan masyarakat Dayak yang dipendam selama bertahun-tahun akibat tidak di hargainya budaya Betang yang mereka miliki oleh etnis tertentu, hingga perihnya luka tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh masyarakat Dayak dan akhirnya mengakibatkan pecahnya konflik berdarah tersebut. Seharusnya etnis tertentu tersebut lebih memahami pepatah “Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, bukannya bersikap arogan dan ingin menang sendiri serta tidak menghargai budaya lokal (budaya rumah Betang yang menjunjung nilai kebersamaan, persamaan hak, saling menghormati, dan tenggang rasa ).
rumah betang
Kini, rumah betang yang menjadi hunian orang Dayak berangsur-angsur menghilang di Kalimantan. Kalaupun masih bisa ditemukan penghuninya tidak lagi menjadikannya sebagai rumah utama, tempat keluarga bernaung, tumbuh dan berbagi cerita bersama komunitas. Rumah Betang tinggal menjadi kenangan bagi sebagian besar orang Dayak. Di beberapa tempat yang terpencar, rumah Betang dipertahankan sebagai tempat untuk para wisatawan. Sebut saja, misalnya di Palangkaraya terdapat sebuah rumah Betang yang dibangun pada tahun 1990-an tetapi lebih terlihat sebagai monumen yang tidak dihuni. Generasi muda dari orang Dayak sekarang tidak lagi hidup dan dibesarkan di rumah Betang (termasuk saya sendiri). Rumah Betang konon hanya bisa ditemukan di pelosok, pedalaman Kalimantan tanpa mengetahui persis lokasinya. Pernyataan tersebut tentu saja mengisyaratkan bahwa rumah Betang hanya tinggal cerita dari tradisi yang berasosiasi dengan keterbelakangan dan ketertinggalan dari gaya hidup modern.
Dan sekarang, dalam menghadapi kehidupan modern yang sangat individualis, yang hanya mementingkan kepentingan pribadi, materi dan penuh kemunafikan, masihkan budaya rumah Betang menjadi tatanan hidup bersama di Kalimantan ataukah budaya ini akan ikut menghilang seperti menghilangnya bangunan rumah Betang di Kalimantan. Apapun jawabannya hanya kita orang Kalimantan yang dapat menentukannya