Minggu, 22 Mei 2011

DAYAK

DAYAK

Asal mula
Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Benua Asia dan pulau Kalimantan merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras Mongoloid dari Asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”.
Sebelum kedatangan islam ke kalimantan belum ada istilah Dayak dan istilah melayu. Semua manusia penghuni pulau borneo merupakan manusia-manusia yang saling berkekerabatan dan bersaudara ( Bangsa Dayak ). Penduduk-penduduk yang tinggal dipesisir pantai oleh penduduk yang tinggal di pedalaman disebut sebagai Orang Laut sebaliknya penduduk yang tinggal di pedalaman oleh penduduk yang tinggal di pesisir pantai di sebut Orang Darat . Jauh sebelum agama Islam datang ke borneo Bangsa Dayak sudah mempunyai kerajaan-kerajaan. Misal kerajaan Nek Riuh ( Mbah Riuh ) dan Kerajaan Bangkule Rajakng serta kerajaan bujakng nyangkok di bagian barat kalimantan . Bujakng Nyangkok adalah raja yang sangat sakti, dimana beliau bisa merubah dirinya menjadi raksasa, yang jika beliau pergi ke suatu yang jaraknya puluhan atau ratusan kilometer dalam satuan meter sekarang, maka beliau cukup melangkah hanya beberapa langkah saja. Bahkan mandau beliau disebut-sebut sangat panjang dan lebarnya melebihi lebar daun pisang. Bahkan sampai kini cerita yang ada pada masyaratak Dayak Kendayan yang berdialek Banyadu di daerah Banyuke hulu kabupaten landak menyebutkan bahwa gunung samalap panca di kecamatan Menyuke pernah ditebas oleh Raja Bujakng Nyangko atas perintah istrinya.
Budaya Telinga Panjang
Spoiler for Open:
Dimasa sekarang Budaya unik masyarakat Dayak yang satu ini hanya dapat disaksikan pada warga Dayak Stanmenras / rumpun Apokayan (Kenyah, Kayan dan Bahau) serta sedikit warga Dayak Iban dan Dayak Punan saja, sementara pada masyarakat Dayak Lainnya sudah tidak ditemukan. Apakah Masyarakat Dayak lain tidak punya budaya ini? Sejujurnya hampir semua sub etnis Dayak dimasa lampau punya tradisi ini hanya saja sudah lama di tinggalkan. Kebanyakan tradisi ini ditinggalkan sejak kedatangan orang luar ke kalimantan, yaitu sejak datangnya para pelaut India dan arab serta China atau etnis Indonesia lainnya ke kalimantan, dengan alasan merasa malu. namun tidak sedikit yang meninggalkan budaya ini di masa awal penjajahan Belanda hingga dimasa penjajahan Jepang. Pada masyarakat Dayak Kendayan yang berdialek Banyadu misalnya, dari cerita orang tua di kampung Tititareng kecamatan Menyuke darit disebutkan bahwa dimasa penjajahan Jepang masih terdapat seorang nenek yang mempertahankan Telinga panjangnya. Sepeninggalan Nenek tersebut maka berakhirlah masa budaya telinga panjang pada masyarakat Dayak Banyadu. Ada satu hal yang menarik yang mungkin menjadi alasan kenapa masyarakat Dayak rumpun Apokayan masih setia mempertahankan budaya telinga panjang ini.
Budaya Tato
Spoiler for Open:
Tato Ternyata Ada Arti tingkatannya gan : Motif bunga terong, motif tato para panglima Dayak
Tatto pada masyarakat Dayak dimasa lampau merupakan simbol fisik yang secara langsung memperlihatkan strata seseorang dalam masyarakat. Baik kaum pria maupun kaum wanita sama-sama mempunyai tatto. Sementara motif-motif gambar tatto juga disesuaikan dengan strata sosial yang berlaku di masyarakat. Gambar tatto antara orang biasa berbeda dengan orang-orang penting seperti para temenggung, para Baliatn, para Demang dan para Panglima perang. Dimasa kini budaya ini sepertinya juga sudah banyak ditinggalkan, dengan berbagai alasan, meski cukup banyak juga generasi Dayak yang sadar untuk terus mengembangkannya.
Spoiler for Open:
Kayau :takut
Kata Kayau bermakna sebagai kegiatan perburuan kepala tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi musuh, dimana kepala hasil buruan tersebut akan digunakan dalam ritual Notokng ( Istilah Dayak Kendayan ). Jadi pada dasarnya yang dimaksud dengan Kayau bukanlah perang antar suku seperti perang dalam kerusuhan-kerusuhan yang pernah terjadi di Kalimantan beberapa waktu yang lalu, yang korbannya tidak pandang bulu apakah seorang biasa atau seorang yang berpengaruh pada kelompok musuh. Kayau tidak sembarangan di lakukan, demikian juga tokoh-tokoh musuh yang di incar, semua dipertimbangkan dengan penuh seksama. Sementara itu, jumlah pasukan Kayau yang akan bertugas di medan minimal tujuh orang. Dimasa silam Kayau umumnya dilakukan terhadap tokoh-tokoh musuh yang memang kebanyakan berbeda sub etnis Dayak-nya. Peristiwa Kayau yang terekam sejarah dan cukup terkenal adalah peristiwa Kayau Kepala Raja Patih Gumantar dari kerajaan Mempawah (Kerajaan Dayak Kendayan ) Kalimantan Barat oleh pasukan Kayau Dayak Biaju / Ngaju Kalimantan tengah, meskipun cerita yang beredar di kalangan masyarakat Dayak Kendayan dimasa kini menyebutkan bahwa nama Biaju ini sering di katakan sebagai Dayak Bidayuh sungkung, dan hal ini diperparah oleh para penulis buku-buku tentang sejarah Kalimantan Barat yang menerima begitu saja cerita dalam Masyarakat tanpa ditelaah lebih lanjut. Hal ini terjadi ditengarai oleh awalan kata Biaju dan Bidayuh yang sama-sama diawali oleh kata “Bi” dan kedua-duanya mempunyai bunyi kata yang hampir mirip (BI-AJU dan BI-dAYUh), padahal yang namanya cerita lisan pasti cukup beresiko mengalami perubahan. Namun yang sangat pasti dan jelas kata Biaju secara tegas di sebutkan dalam cerita tersebut
Spoiler for Open:
Senjata Sukubangsa Dayak
1. Sipet / Sumpitan.
2. Lonjo / Tombak.
3. Telawang / Perisai.
4. Mandau
5. Dohong.
Totok Bakakak (kode) yang umum dimengerti Sukubangsa Dayak
1. Mengirim tombak yang telah di ikat rotan merah (telah dijernang) berarti menyatakan perang, dalam bahasa Dayak Ngaju “Asang”.
2. Mengirim sirih dan pinang berarti si pengirim hendak melamar salah seorang gadis yang ada dalam rumah yang dikirimi sirih dan pinang.
3. Mengirim seligi (salugi) berarti mohon bantuan, kampung dalam bahaya.
4. Mengirim tombak bunu (tombak yang mata tombaknya diberi kapur) berarti mohon bantuan sebesar mungkin karena bila tidak, seluruh suku akan mendapat bahaya.
5. Mengirim Abu, berarti ada rumah terbakar.
6. Mengirim air dalam seruas bambu berarti ada keluarga yang telah mati tenggelam, harap lekas datang. Bila ada sanak keluarga yang meninggal karena tenggelam, pada saat mengabarkan berita duka kepada sanak keluarga, nama korban tidak disebutkan.
7. Mengirim cawat yang dibakar ujungnya berarti salah seorang anggota keluarga yang telah tua meninggal dunia.
8. Mengirim telor ayam, artinya ada orang datang dari jauh untuk menjual belanga, tempayan tajau.
9. Daun sawang/jenjuang yang digaris (Cacak Burung) dan digantung di depan rumah, hal ini menunjukan bahwa dilarang naik/memasuki rumah tersebut karena adanya pantangan adat.
10. Bila ditemukan pohon buah-buahan seperti misalnya langsat, rambutan, dsb, didekat batangnya ditemukan seligi dan digaris dengan kapur, berarti dilarang mengambil atau memetik buah yang ada dipohon itu.
Tradisi Penguburan
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
* penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka
dilipat.
* penguburan di dalam peti batu (dolmen)
* penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar.
Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
* dikubur dalam tanah
* diletakkan di pohon besar
* dikremasi dalam upacara tiwah.
Cewek Dayak Cakep – Cakep Juga Gan :wowcantik
Spoiler for Open:

Adat Mangkok Merah dan Pamabakng

Adat Mangkok Merah dan Pamabakng

 
5 Votes

“Adat Mangkok Merah dan Pamabakng” adalah sebuah judul yang sengaja diangkat dari permukaan, karena adat mangkok merah dan pamabakng telah di kenal oleh masyarakat luas diluar etnis Dayak terutama dalam gerakan meyeluruh masayarakat Dayak takala penumpasan gerakan Paraku G-30-S PKI di Kalimantan Barat pada tahun 1967. Demikian pula adat Pamabakng yang cukup dikenal karena telah beberapa kali diberlakukan terutama dalam upaya perdamayan akibat kerusuhan etnis yang terjadi di Kalimantan Barat dan tragedy berdarah di markas Armet Nagabang beberapa tahun yang lalu. Walupun Adat ini sudah cukup dikenal dikalangan masyarakat luas, namun adat ini perlu diangkat dalam suatu tulisan demi untuk persamaan presepsi tentang adat itu karena selama ini mungkin terdapat perbedaan presepsi dikalangan masayarakat luas bahkan dikalangan masayarakat Dayak sendiri.
Kedua jenis adat ini mempunyai keunikan tersendiri ibarat dua sisi yang bersebaranagan namaun mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Mangkok Merah adalah adat yang bersifat sakral dan memaksa untuk mengarahkan masa demi tujuan tertentu sementara pamabakng adalah adat yang bersipat sakral yang harus dipatuhi dalam upaya perdamaian akibat adanya suatu komplik berdarah.
Dengan demikian selain bersebrangan dan mempunyai keterkaitan yang sangat erat, kedua adat ini fungsinya seolah-olah bertentangan. Terlepas dari pendapat pro dan kontra secara esensi adat ini perlu dipertahankan dan di lesatarikan, namun apakah ia masih tetap dipertahankan dan dilestarikan, namun apakah ia masih tetap ditaati dan di patuhi terutama di era globalisasi yang serba moderen ini.
ADAT MANGKOK MERAH
Berdasarkan jenis alat peraganya, pada mulanya adat ini bernama mangkok jaranang. Jaranang adalah sejenis tanaman akar yang mempunyai getah berwrana merah. Getah akar jaranang ini di pergunakan sebagai penganti warna cat merah karena pada waktu itu orang belum mengenal cat. Akar jaranang yang berwarna merah ini dioleskan pada dasar mangkuk bagian dalam.
Oleh karena itu ia disebut mangkok merah. Pada jaman dahulu apabila dalam suatu kasus pihak pelaku tidak bersedia di selesaikan secara adat maka pihak ahli waris korban yang merasa dihina dan dilecehkan kehormatan, harkat dan martabatnya atas kesepakatan dan musyawarah ahli waris segera melakukan aksi belas dendam melalui pengerah masa secara adat yang disebut adat mangkok merah. Kasus tersebut biasanya mangkuk menyangkut kasus parakng- bunuh ataupun kasus pelecehan seksual dan lain sebagainya yang sifatnya mengarah kepada pelecehan dan penghinaan terhadap ahli waris.
Alat Peraga dan Maknanya
Alat paraga mangkok merah terdiri dari :
• Sebuah mangkuk sebagi tempat/sarana untuk meletakkan alat paraga lainnya.
• Dasar mangkuk bagian dalam dioles dengan getah jaranang berwarna merah yang mengandung pengertian “ Pertumpahan darah “.
• Bulu/sayap ayam yang mengandung pengertian “ Cepat “, segera, kilat, seperti terbang”.
• Tabur atap daun ( ujung atap yang terbuat dari daun rumbia) mengandung pengertian bahwa yang membawa berita itu tidak boleh terhambat oleh hujan karena ada terinak ( payung ).
• Longkot api ( bara kayu api baker yang sudah di pakai untuk memasak di dapur ) yang mempunyai pengertian bahwa yang membawa berita tidak boleh terhambat oleh petang/gelap malam hari, karena sudah disedikan penerangan api colok dsb.
Alat para mangkok merah dikemas dalam mangkok yang telah diberi warna merah jaranang kemudian di bungkus dengan kain. Beberapa orang yang di tunjuk utnuk menyampaikan berita sekaligus mengajak seluruh jajaran ahli waris itu sebelumnya di berikan arahan mengenai maksud dan tujuan mangkok merah itu, siapa saja yang harus ditemui, kapan berkumpul, tempat berkumpul dan lain sebagainya. Tentu saja mereka yang membawa berita mangkok merah tersebut tidak boleh menginap bahkan singah terlalu lamapun tidak boleh. Walau hujan lebat dan petang gelap sekalipun mereka harus meneruskan perjalanannya.
Seperti yang diuraikan dalam pendahuluan, bahwa yang melatar belakangi terjadinya adat mangkok merah itu karena akibat adanya suatu yang tidak mau diselasaikan secara adat oleh pelakunya sehingga dianggap telah menghina dan melecahkan harkat dan martabat ahli waris korban. Damai kehormatan,harakat dan maratabat ahli waris sehingga mereka mengadakan upaya pembalasan dengan mengumpulkan ahli waris melalui adat mangkok merah. Misalnya seorang yang mati terbunuh apabila dalam waktu 24 jam tidak ada tanda-tanda upaya penyelesaian secara adat maka pihak ahli waris korban segera menyikapinya dengan suatu upaya pembelasan, karena perbuatan sipelaku di anggap telah menentang pihak ahli waris korban dan ia pantas dihajar sebagai binatang karena tidak beradat. Selanjutnya digelarlah adat mangkok mereah seperti yang telah di jelaskan di atas.
Sebagai mana di jelaskan di atas bahwa gerakan mangkok merah muncul untuk membela kehormatan, harkat dan martabat ahli waris yang telah dihina dan dilecehkan. Dengan demikian tentu saja gerakan ini menjadi tangung jawab ahli waris. Menurut masyarakat adat Dayak Kanayatn susunan/turunan page waris samdiatn itu dapat digambarkan menurut garis lurus yaitu :
1. Saudara Sekandung ( tatak pusat ) disebut samadiatn.
2. Sepupu satu kali ( sakadiritan ) di sebut kamar kapala.
3. Sepupu dua kali ( dua madi’ ene’ ) di sebut waris.
4. Sepupu tiga kali ( dua madi’ ene’ saket ) di sebut waris.
5. Sepupu empat kali ( saket ) di sebut waris.
6. Sepupu lima kali ( duduk dantar ) di sebut waris.
7. Sepupu enam kali ( dantar ) di sebut waris.
8. Sepupu tujuh kali ( dantar page ) di sebut waris.
9. Sepupu delepan kali ( page ) masih tergolong waris.
10. Sepupu sembilan kali, dah baurangan tidak tergolong waris.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa yang mulai disebut waris adalah pada turunan sepupu tiga kali atau dua madi’ene’, sehinga mereka yang termasuk dalam turunan ini di anggap sebagai kepala waris atau waris kuat. Merekalah yang berhak memimpin gerakan ini sifatnya mangkok mereah.
Sebagai mana telah di jelaskan dalam pendahuluan maka sifat-sifat yang terkandung didalam adat mengkok merah tersebut adalah :
1. Seluruh acara pelaksanaan adat mangkok merah dari mulai bermusyawarah/mufakat hinga pemberangkatan bala, sarat prilaku-prilaku mistik relegius, oleh karena itu adat bersifat sakral.
2. Pihak ahli waris yang dituju atau yang menerima berita mengkok merah demi menjunjung tinggi harkat dan martabat serta kehormatan ahli waris mereka harus ikut. Apabila mereka tidak ikut, mereka dapat dicap sebagai pengecut dan tidak menaruh rasa malu. Dengan demikaian mereka terpaksa harus ikut. Jadi dalam adat mangkok merah terdapat sifat mengikat atau memaksa.
Menelusuri proses pelaksanaan adat mangkok mereah, ternyata bahwa pelkasanan dan penangung jawab adat mengkok merah adalah selauruh jajaran ahli waris korban di pimpin oleh ahli waris dua madi’ ene’ sebagai kepala waris. Sedangkan sasarannya adalah pihak pelaku yang tidak bersedia membayar hukuman adat senhinga di anggap telah melecahkan dan menghina pihak ahli waris korban. Apabila bala telah bernagkat menuju sasaran hampir tidak ada alternatif lain untuk pencegahan, kecuali dengan upaya adat dimana pihak pelaku harus memasang adat pamabang.
ADAT PAMABAKNG
Sebagai mana telah diuraikan diatas bahwa adat mangkok merah dan adat pamabang ibarat dua sisi yang berseberangan dan mengandung makna yang bertentangan namun keduanya mempunyai keterikatan yang sangat erat. Telah diuraikan pula pelaksanaan adat mangkok merah mempunyai dampak yang sangat negatif, akan tetapi sebagai alat ia sangat tergantung kepada pemakaiyannya. Dengan demikian ia dapat pula berdampak positif, misalnya penggunaan adat mangkok merah pada saat pemumpasan paraku G-30-S PKI di Kalimantan Barat pada tahun 1967.
Alat Peraga
Sementara itu adat pamabankng mempunyai dampat yang sangat positip mengupayakan penyelasaian komplik sejarah damai. Bala yang akan menyerag setelah mengadakan pengerahan masa melalaui adat mangkok merah. Harus cepat di antisipasi oleh pengurus adat , dalam hal ini temenggung dibantu oleh pasirah dan pangaraga. Mereka harus segera memeberi tahu sekaligus memerintahkan kepada ahli waris di bantu oleh msayarkat kampung untuk memasang adat pamabakng, dengan alat paraganya sebagai berikut :
- 1 buah tempayan jampa diletakkan di atas jarungkakng banbu kuning ditutup pahar dengan posisi telungkup.
- Kemudian ada pelantar di taruh di atas talam lengkap dengan topokng ( tempat sirih ) dan beras beserta alat-alat palantar lainnya lengkap dengan ayam 1 ekor sedapatnya berwarna putih, tidak berwarna merah.
- 1 buah bendera berwarana putih yang dipasang di dekat tampayan jampa.
- Kemudian di dekat tempayan jampa harus ada papangokng ( penggung kecil dari kayu ) untuk meletakkan palantar.
- Disekitar pamabang terhampar bide untuk tempat duduk dan bermusyawarah dengan bala yang akan datang.
- Tempayan jamba melambangkan tubuh korban jika terjadi pada kasus pembunauhan, dan sebagai tanda pengakuan adat bagi pelaku.
- Ayam putih dan bendera putih sebagai simbol perdamaian.
- Beras banyu sebagai simbol perampunan sekaligus untuk menenangkan hati yang sedang dilanda emosi.
- Topokng tempat sirih dipergunakan untuk menyapa bala yang datang.
Pamabankng harus ditunggu oleh temenggung dan jika temenggung tidak ada/berhalangan, pamabakng di tunggu oleh pasirah atau oleh tua-tua adat yang dianggap mengerti tentang adat. Selain mengerti tentang adat orang yang menunggu pemabankng haruslah orang yang bijaksana dan biasanya pula harus orang yang punya ilmu dalam mengatasi kasus seperti itu misalnya mantra dan jampi-jampi yang di sebut sanga bunuh, bungkam, kata gampang, pelembut hati seperti pangasih dan lain-lain masksudnya agar saran serta naseihat dsb. Dapat dipakai oleh pihak bala yang sedang emosi.
Apa bila keadaan yang sangat gawat dan rawan, pamabankng dapat di pasang lebih dari satu yaitu dipersimpangan jalan masuk dan di ujung pante ( pelataran ). Maksudnya adalah apabila pamabakng yang satu tetap dilangar, masih adalagi pamabnag lain yang terakhir. Pamabakng yang terakhir ini merupakan pertahanan terakhir sehinga apabila pamabang terakhir inipun di langar maka tidak ada alternatif lain selain harus mengadakan perlawanan dan perang kelompok ahli warispun tidak dapat terelakan. Perbuatan ini dapat menyebabkan ririkngnya adat raga nyawa, artinya adat raganyawa tidak dibayar. Namun sepanjang sejarah perjalanan adat hal seperti ini tidak pernah terjadi. Pada saat bala tiba di tempat pamabang, segera penunggu pamabakng menyapanya dengan topokng sekaligus di persilakan duduk. Ia mulai membentakangkan arti dan makana pamabakng bahwa pihak pelaku mengaku bersalah dan bersedia menyelasaikannya secara hukum adat. Biasanya setelah mendengar penjelasan itu pihak bala melampisan emosinya dengan menikamkan senjatnya ketanah di sertai dengan tangisan karena hatinya kesal tidak mendapat perlawanan.
Maka yang paling penting dari adat pamabakng ini adalah :
1. Jika pamabakng tidak di pasang, dapat diartikan :
a. Bahwa pihak pelaku menetang pihak ahli waris korban untuk berkelahi atau perang antar kelompok ahli waris.
b. Pihak pelaku tidak mau sama sekalai membayar adat.
c. Pengurus adat seolah-olah membiarkan dan malahan menghasut kedua belah pihak untuk saling menyerang.
2. Jika pamabakng sudah terpasang dapat di artikan :
a. Kasus tersebut sudah di tangan pengurus adat
b. Pihak pelaku sudah mengakui kesalahannya dan besedia membayar hukuman adat.
Adat pamabakng adalah adat bahoatn artinya hanya untuk dipajang bukan untuk di bayarkan. Setelah bala datang mereka harus di bore baras banyu dan selanjutnya dilakukan persembanhan kepada jubata. Pamabakng teteap terpasang selama adat belum diselesaikan dan paling lama selama 3 hari.
Sumber: http://yohanessupriyadi.blogspot.com/

TATO DAN EKSISTENSI BUDAYA DAYAK

TATO DAN EKSISTENSI BUDAYA DAYAK

 
Rate This

from: http://iwandjola.blogspot.com/
Tulisan ini di ikutkan dalam sayembara menulis “Quo Vadis Kebudayaan Dayak” oleh Institut Dayakology Pontianak Oktober 2008.
Abad demi abad selalu disertai oleh tanda dan simbol. Baik dalam bentuk visual maupun non visual. Manusia merupakan pelaku utama penanda itu, ia adalah mahkluk yang penuh daya cipta, ide, estetika, kreativitas, serta rasa kemanusiaannya. Dalam kehidupan komunal, manusia menyepakati berbagai aturan dan norma, bahasa, dan akhirnya menyepakati tanda, dan lambang sebagai identitas bersama. Eksistensi identitas itulah yang menuntun manusia mengurangi, menambah, mengatur dan mengubah bagian tubuh alamiahnya.
Tato adalah contoh penanda itu, karya seni hasil peradaban itu sendiri. Sekaligus merupakan sebuah media dalam masyarakat dan kelompok tertentu untuk saling mengenal dan berkomunikasi dan menunjukkan eksistensinya.
Tato, dan tradisi yang menyertainya adalah bagian kehidupan manusia, ia ada dalam tradisi seluruh benua dibelahan bumi ini. Afrika, Amerika, Eropa, Asia, Oceania, di benua Australia dan sekitarnya. Awalnya ia adalah konsumsi lokal kelompok masyarakat semata, namun kini dalam era global ia dapat menjadi konsumsi siapa saja yang menjadi anak jaman. Kata Tato, adalah peng-Indonesiaan dari tatto (English). Yang dapat diartikan sebagai goresan, gambar, atau lambang yang membentuk sebuah desain pada kulit tubuh. Konon kata Tato, berasal dari bahasa Tahiti, yakni “tattau”. Dan akhirnya memiliki istilah yang umumnya hampir sama diberbagai belahan dunia; tatoage, tatouage, tatowier, tattuagio, tatuar, tatuaje, tatoos, tattuaringer, tatuagens, tattoveringer, tattoos dan tatu. ( Tato, Hatib abdul kadir Olong, 83) Dalam bahasa Dayak ada yang menyebutnya Tutang, Pantang, Tedak .
Pada tradisi orang Dayak, Tato adalah ritual tradisional yang terhubung dengan peribadatan, kesenian dan juga pengayauan. Ia melekat ditubuh secara permanen sehingga ia menjadi ikatan pertalian, penanda yang tidak terpisahkan hingga kematian, selain itu juga berfungsi menunjukkan status sosial pemakai maupun kelompok tertentu. Gambar dan motif tertentu pada tato yang dikenakan orang Dayak ada yang dipercaya penggunanya merupakan cara untuk menangkal pengaruh jahat dan membawa keselamatan.
Dalam bukunya Dragon and Hornbill, Bernard Sellato mengungkapkan bahwa selain Dayak Tunjung dan Dayak Daratan, hampir semua kelompok suku Dayak di Kalimantan mengenal Tato sebagai penanda dan identitas kelompoknya. Terutama yang mengemuka di Kalimantan Barat adalah kaum lelaki Iban, Kayan dan Taman. Pada orang Dayak Kayan dan Kenyah, wanita mengenakan lebih banyak tato pada tangan dan kakinya untuk mempercantik diri.
Menurut Sellato pula, motif yang dikenakan kaum pria Dayak pada umumnya merupakan lambang kejantanan, keberhasilan dalam perang, dan identifikasi dalam pertempuran. Motif tato yang sering di gunakan merupakan cara untuk menangkal pengaruh jahat, penyembuhan penyakit, dan mempunyai makna religius, serta merupakan lambang alam semesta yang saling melengkapi. Seorang lelaki dewasa Dayak Iban yang telah berpengalaman dalam Mengayau, ataupun perantau dan berbagai kelebihan individu segera mengenakan lambang-lambang yang menunjukkan keperkasaannya. Ini adalah kebanggaan, prestise dan sebuah fase yang didambakan kaum lelaki saat itu.
Kaum perempuan menunjukkan kepiwaiannya dalam menenun dan menari. Bagi perempuan saat itu, menenun sama dengan tindakan perang yang dijalankan kaum pria. Keindahan tenunan, pemilihan motif merupakan sebuah keahlian yang bukan sembarangan, kemampuan ini diakui masyarakat sebagai prestasi yang patut ditandai dengan tato sebagai penghargaan dan penanda. Catatan ini menerangkan bahwa Tato pada perempuan Dayak Iban dan Kayan sangat berarti. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Tato pada masa itu sangat penting keberadaannya ditengah masyarakat Dayak yang menyepakati untuk mengenakkannya. Ia adalah lambang, sekaligus representasi konsep hidup, konsep religiusitas ke-Tuhanan, sekaligus sebuah doa, bekal dan pesan bagi kehidupan.
Begitu jauh Tato berjalan mengarungi dunia, menembus semua lapisan, batasan. Namun Tato tetap bukan produk modernisme, ia lahir dan berasal dari budaya pedalaman, tradisional bahkan kuno.
Bunga Terung yang biasa dikenakan lelaki Iban, tertanam juga di bahu Flea, bassis Red Hot Chilli Papers (Band musik Rock biasa disingkat RHCP). Mike Tyson, meletakkan motif Maori di pipi dan dahinya. Sebaliknya, seorang mahasiswa Dayak di Yogyakarta dengan gagah menyimpan Che Guevara didadanya, lalu lambang “S” Superman di lengan kanannya.
Tato tradisi Dayak, ditengah fenomena globalisasi yang melanda seluruh muka bumi, sejauh apa ia diperlakukan, dikenakan dan dicintai dan dipelajari sebagai bagian dari sejarah dan tradisi? Dunia tidak merampasnya, namun ia kini tak lagi hanya menjadi milik orang Dayak saja, ia menjadi bagian dari budaya yang dimiliki dunia pula, dunia telah memintanya.
Telah terjadi kedangkalan pemahaman masyarakat kita menterjemahkan Tato dalam hidup sehari-hari ( seperti disampaikan dalam opini Bapak A.Halim.R Pontianak Post, Kamis, 3 Januari 2008).Banyak anak muda yang seolah latah mengenakan Tato sebagai identitas baru. Hal ini dapat disaksikan dikalangan pemuda Dayak di Kalimantan Barat. Konsepsi Tato adat dan tradisi tak lagi dipegang teguh bahkan tidak dipahami.
Sangat disayangkan, karena kedangkalan itu melanda kaum muda Dayak di Kalimantan, daerah yang memiliki tradisi dan budaya Tato yang pernah menjadi pusat perhatian dan dihargai dunia. Kalimantan Barat khususnya, adalah pemilik aset budaya tersebut, namun pengetahuan dan eksotisme lokal ini ternyata dilewatkan begitu saja sebagai suatu hal yang sia dan tak mendapat perhatian. Bukankah Tato tradisi Dayak dan orang yang mengenakannya sesungguhnya adalah sebuah aset budaya yang tak ternilai bagi pariwisata, ilmu pengetahuan dan sejarah lokal?
Mencermati keterpurukan pemahaman dalam berbagai aspek budaya di Indonesia, dalam bukunya Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya, Umar kayam mengungkapkan, “Modernitas adalah mutlak dalam sebuah negara kebangsaan baru, dan dapat bersikap sangat keras terhadap kesenian tradisional. Modernitas menciptakan efisiensi yang tidak hanya merubah irama serta memendekkan kesenian tradisional itu, akan tetapi sesungguhnya merombak hal-hal yang paling dasar dari kesenian”.( Umar Kayam,Sesuatu Indonesia)

Modernitas dan gelombang globalisasi memang tak dapat dihindari, namun itu tidak berarti kita boleh membiarkannya dengan leluasa mengambil dan mengganti warna, memporak porandakan tradisi semaunya. Semakin pudarnya eksistensi Tato dan berkurangnya minat generasi muda Dayak menyandang tato tradisi tak lepas dari kesadaran baru masyarakat saat masuknya agama besar, dan kombinasi faktor lainnya dalam tatanan hidup masyarakat Dayak. Namun yang harus dikritisi adalah sikap pemerintah Indonesia melalui instansi yang berwenang di Kalimantan. Telah terjadikah sebuah usaha untuk tetap menjaga Tato (dengan segala dinamika, baik dan buruknya) sebagai bagian tradisi sebagai sebuah jejak leluhur yang patut untuk dipelajari, dikaji sebagai tanggung jawab moral terhadap generasi muda Indonesia?
Dibalik keberhasilan ekonomi dan propaganda pembangunannya, Orde Baru adalah gurita, yang mencengkeram seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pemuda dan generasi yang sudah dewasa tentu ingat fenomena “Petrus” sekitar tahun 1983-1985. Shock therapy yang dimobilisasi oleh negara demi sebuah alasan ketertiban dan keamanan. Eksistensi negara dalam “Petrus” saat itu di akui oleh Alm. Soeharto (mantan presiden ke dua) dalam biografinya : Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (1989). Tato menjadi sebuah stigmatisasi kejahatan, kriminalitas dan keberingasan yang harus ditumpas. Masyarakat kota di Jawa terhenyak dengan kerap ditemukan mayat dengan tubuh penuh lubang peluru, tusukan dan bekas penganiayaan: Umumnya tubuh itu bertato. Negara melakukan kontrol terhadap nasyarakatnya, dan masyarkat Dayak saat itu adalah masyarakat yang serta merta menjadi “orang terhukum” ditanah air, tempat adat istiadat dan budayanya berkembang.
Saya tidak mempunyai cukup pengetahuan dan data tentang apa yang terjadi di Kalimantan saat itu, namun dengan luasnya akses informasi mengenai seluruh rangkaian kejadian tersebut dapatlah dibayangkan bagaimana kecemasan Dayak-dayak yang terlanjur bertato demi menghormati tradisinya. Sebuah hasil karya seni, tradisi yang hidup jauh sebelum mereka menjadi bagian integral Republik ini, bahkan sebelum Indonesia di proklamirkan. Identitas budaya terseret menjadi lambang kriminalitas, dan stigmatisasi itu hidup hingga kini. Sehingga ada ungkapan yang diskriminatif pada 1960-1980, bahwa “orang bertato tak berhak menjadi ABRI dan Pegawai Negeri”. Memahami, menjalankan tradisi, ternyata dapat menjerumuskan nasib dinegara ini. Stigmatisasi yang hidup itu, mengakibatkan kecemasan dan unconfidence untuk menyatakan diri sebagai Dayak dengan tradisi mengenakan Tato sesuai tradisi Dayak.
Saat ini ketika rezim telah berganti, apa yang terjadi ditengah masyarakat di Kalimantan Barat (terutama kaum muda Dayak), sesungguhnya adalah sebuah pencarian baru, aktualisasi diri atas identitas budaya dan kebanggaan sebagai empunya tradisi. Terjadi sebuah kegamangan ketika “kedayakkan” dipertanyakan. Saya tak bermaksud berdalih, namun generasi Dayak yang hidup dan dewasa dalam masa Orde Baru adalah generasi yang terkungkung dan terlanjur di seragamkan menjadi nasionalis setengah jadi.

Benar adanya seperti yang disampaikan Jenkins didalam catatan Van Hulten, bahwa terjadi pembudayaan terhadap orang Dayak dimasa itu, dimana keberadaan mereka dianggap dapat merusak image Indonesia sebagai negara yang progresiv ( Herman Josef Van Hulten, Hidupku diantara Suku Daya,1992). Sehingga terjadilah aneka program yang dilakukan pemerintah dengan tujuan merubah, mengajarkan, mempengaruhi dan semua itu tanpa pertimbangan bahwa negara seharusnya memberikan perlindungan yang memadai bagi budaya tradisi lokal warga negaranya. Masyarakat lokal ketika itu tidak dipersiapkan dengan baik untuk menerima para transmigran, sehingga semakin terhimpit dan goyah dalam mengidentifikasi kedudukannya ditengah masyarakat yang kian mejemuk. Setelah satu persatu rumah Panjang dirubuhkan untuk diganti dengan pola yang baru, sesungguhnya orang Dayak telah kehilangan kedaulatan adat dan tradisinya.
Tak dapat di sangkal pula, melalui media elektronik terutama Televisi, pengaruh Eropa dan Amerika (barat), juga menjadi bagian penting perubahan besar yang terjadi pada masyarakat tradisi. Televisi menghantarkan realitas kedua dari belahan dunia lain, sehingga memotivasi untuk segera menjadi bagian dari dunia baru itu. Persoalan mode dan pola hidup adalah contoh yang paling cepat terlihat dari dampak itu. Pakaian, asesori dan aneka jenis perhiasan segera mempengaruhi gaya hidup. Globalisasi segera menyeragamkan manusia dalam suatu budaya massa yang sewarna, sehingga apa yang dialami masyarakat Dayak adalah fenomena biasa yang juga sedang terjadi dan dialami masyarakat dunia dibelahan bumi yang lain. Gencarnya arus globalisasi menjadi warna dan pengaruh besar yang memotivasi seorang atau kelompok segera menjadi bagian dari arus besar itu.
Perdebatan dan eksistensi Tato tradisi saat ini memang tak lagi up to date untuk di benturkan dengan kekinian. Dalam agama Islam, dalam moralitas agama Kristen, Katolik juga terdapat himbauan dan larangan untuk tidak ber-Tato, yang mencerminkan manusia merupakan citra Allah. Norma dan “kepantasan” yang tertanam dalam masyarakat juga demikian adanya.
Serupa dengan perdebatan tentang pornografi dan pornoaksi beberapa waktu yang lalu, agama dan Seni akan selalu memiliki batas yang abstrak. Seni dan kebudayaan merangkum semua pola pikir, aktivitas sosial hingga hasil dari aktivitas tersebut. Dalam hal ini agama juga dianggap merupakan hasil dari kebudayaaan manusia setara dengan kesenian.
Berdanetha Oevaang Oeray by Muhlis Suhaeri
Tato (baik dengan ritual tradisi atau tidak) merupakan anak kandung seni yang lahir dari kebudayaan, akan menjadi batu dan kerikil bila di pertemukan dengan konsep moralitas agama. Sebab (mungkin) agama akan mengurainya secara hitam dan putih, surga dan neraka. Indonesia sepantasnya berbangga bahwa tato tradisi Dayak (Kalimantan) diakui sebagai bagian dari rupa tato kuno yang hingga saat ini sebagian kecil masih bertahan eksistensinya. Tato tradisi dalam masyarakat Dayak adalah salah satu acuan dan referensi kebudayaan dunia. Untuk itu ada baiknya ia diteliti, dipelajari dan dipahami sebagai identitas budaya di Kalimantan sendiri. Sehingga ia tidak lagi disalah arti menjadi simbol sebuah ancaman ketertiban dan keamanan, ke-tidakberadab-an.
Muatan Lokal dalam silabus dan kurikulum tentang Kalimantan Barat telah dimulai di sekolah-sekolah, apakah Tato juga layak diangkat sebagai sebuah pengetahuan baru? Seorang teman yang pernah menempuh pendidikan di SMP Negeri 4 Kabupaten Bantul di Provinsi DI. Yogyakarta pada 1998-2001 mengaku mendapatkan muatan lokal membatik, mengenal motif-motif dan membedakan motif Pekalongan, Cirebon, Yogyakarta dan Solo. Selain itu dipelajari pula kriya kayu, ukir, sablonase musik gamelan dalam karawitan Jawa dan berbagai aspek yang berkaitan dengan seni tradisi Jawa.
Memang tak elok membandingkan secara harafiah kualitas pendidikan dikedua daerah, namun apa yang telah dilakukan di Bantul dapat menjadi contoh bagi pendidikan daerah lain terutama di Kalimantan. Dimana pendidikan tak melepaskan basis budaya dan kemanusiaan sebagai bekal bagi siswa untuk menjadi seorang anak Indonesia yang maumengenal tradisi daerah asalnya.
Pendidikan sebagai dasar pijakan, adalah sangat penting bagi generasi muda Dayak dan Kalimantan secara umum. Nasionalisasi sebagai “Indonesia” harus diakui politis dan berkiblat pada pola yang dipengaruhi oleh etnis (dan mungkin) agama yang dominan, sehingga apa yang disebut kearifan lokal (yang tak sejalan) diabaikan demi politisasi kebudayaan itu sendiri.
Sesungguhnya banyak intelektual Dayak yang menyadari, namun mengabaikan proses ini dan menganggapnya adalah kewajaran. Tak akan ada generasi Dayak yang mampu membicarakan berbagai aspek budayanya bila tak ada kesadaran kolektiv dari generasi pendahulu untuk segera mendelegasikan sebuah pengetahuan yang baik tentang budaya Dayak. Hal ini tak dapat dimulai oleh komunitas lain, ia harus dimulai oleh Dayak-Dayak itu sendiri. Intelektual Dayak, terlihat sangat sibuk berpolitik, merebut posisi yang nantinya diharapkan akan mampu membuat semuanya terlihat sangat mudah terjadi oleh kekuasaan. Akses dan kedudukan sebagai decision maker dalam politik tentu sangat penting, namun tidak serta merta merubah nasib Dayak seperti membalikkan tangan. Yang terjadi berikutnya adalah perpecahan prinsip dan orientasi antara elite itu sendiri.
Bruder Stephanus Paiman 3, by Muhlis Suhaeri
Tulisan ini jelas tak sempurna. Melalui ini saya berharap keresahan tentang eskistensi budaya Dayak, terutama tentang Tato sedikit terobati. Tulisan ini tidak juga bermaksud untuk mengajak generasi muda Dayak saat ini untuk ber-tato massal sebagai identitas baru. Masih banyak cara lain untuk “bangga” sebagai Dayak. Ketika Rumah Betang kini dapat dihitung jumlahnya, sebagai pusat perkembangan budaya ia sebenarnya tak lagi punya wibawa yang sama sepeti dimasa silam. Untuk itu diperlukan sebuah “Dayak Centre”, dimana pusat studi dan pengkajian dapat dilakukan secara terpadu. Diperlukan pula perpustakaan yang menyimpan data mengenai seluruh aspek budaya Dayak. Ini mendesak untuk dilakukan mengingat pola pewarisan lisan yang diandalkan oleh generasi sebelumnya terbukti tak cukup mampu manjadi pijakan dan sumber pembelajaran. Cerita rakyat, syair-syair, pantun, mantra-mantra, hukum adat, pemetaan wilayah, catatan, jurnal, makalah, hasil penelitian, berbagai hasil kesenian (musik,senirupa,kriya), motif ukir dan semua pengetahuan yang mungkin didokumentasi segera dilakukan dengan sadar. Semua ini dilakukan tidak untuk menciptakan generasi yang primordial, etnosentris dengan fanatisme kedaerahan dan militansi suku, namun untuk menciptakan kesadaran bersama bahwa kebudayaan Dayak adalah aset daerah dan aset kekayaan budaya bangsa.
Mempelajari rupa, motif, makna dan rupa Tato disekolah tidak serta merta menghimbau generasi muda untuk bertato, namun menyebarkan pengetahuan budaya. Sehingga bila Tato memang tak lagi dikenakan sebagai sebuah tanda dan identitas, ia tetap hidup sebagai hasil dari seni dan tradisi di Kalimantan Barat. Selanjutnya kita akan memiliki generasi yang paham tentang baik dan buruknya, juga sejarahnya. Dengan demikian tidak mudah terjadi latah untuk bertato tanpa memahami makna didalamnya.
Kebudayaan dan Tradisi Dayak banyak diperkirakan oleh Borneian akan segera hilang dari percaturan budaya nasional Indonesia, dan dunia. Ia akan segera menjadi sebuah kenangan dan memori indah masa lalu, bahwa di Kalimantan atau Borneo pernah hidup “Dayak” dengan kebesaran tradisi dan nilai didalam budaya. Ia akan tetap dikenang sebagai The great head hunters, atau bangsa penguasa rimba Kalimantan yang tak ada tandingnya. Dengan usaha kita bersama, berkarya dan berharaplah bahwa semua perkiraan itu tak demikian mudah terjadi, sebab ada generasi yang sadar dan disiapkan untuk menjadi generasi yang mencintai dan mau hidup didalam tradisi itu melalui transformasi budaya yang tepat

Suku Iban

Suku Iban atau Suku Dayak Iban, adalah salah satu rumpun suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Barat, Sarawak dan Brunei. Selama masa kolonial Inggris, kelompok Dayak Iban sebelumnya dikenal sebagai Dayak Laut (bahasa Inggris:Sea Dayak).
Suku-suku yang termasuk rumpun Iban (Ibanic) dengan kode bahasa : IBA, diantaranya :
  1. Suku Iban di Kalimantan Barat ber-Bahasa Dayak Iban(kode bahasa : IBA)
  2. Suku Iban di Sarawak, Malaysia(kode bahasa : IBA)
  3. Suku Iban di Brunei (Persatuan Iban Brunei)(kode bahasa : IBA)
  4. Suku Mualang (kode bahasa : MTD)
  5. Suku Seberuang (Sintang), (kode bahasa : SBX)
  6. Suku Melanau (kode bahasa : IBA)
  7. Suku Kantuk (kode bahasa : IBA)
  8. Suku Bugau (kode bahasa : IBA)
  9. Suku Desa (kode bahasa : IBA)
  10. Suku Ketungau di (Ketungau Hulu, Sintang) (kode bahasa : IBA)
  11. Suku Batang Lupar (Batang Lupar, Kapuas Hulu) (kode bahasa : IBA)
  12. dan lain-lain

Sejarah Asal Usul Dayak Iban Remun…….

Posted by cobbold
04102007055Iban remun dalam pertengahan abad ke 16 sekeda ari raban iban (Iban Remun, Iban Sebuyau, Iban Balau) ti berangkat ari batang Kepuas. Bala remun tu mudik Labuyan ngagai ulu batang ai diau ba lubuk Baya Tapang peraja, udah nya sida ngili batang ai lalu diau ba Bukit Temuduk Sri Aman betuaika Beh enggau Banteh. Udah nya sida pindah  ngagai Sungai Krang Ulu Sungai Sadong berimba bumai betaun ngasu beburu. Bepechah sida ke Melikin ngagai tembawai  Minggang rumah Panjai. Berapa Taun udahnya datai dua iko tuai nama kekai enggau Engkabi lalu diau enggau sida. bepechah baru sida kekai enggau Engkabi lalu begiga menua baru lalu pindah ngagai Nanga Kedup lalu betemu enggau Damu enggau Panjang. Bala sida  Kekai enggau Engkabi bejalai baru nuju Bukit Semuja, lalu tetemu ka Ai Terjun Pancho Asu, ba ulu sungai Remun ka alai sida bepalan. Ari nya sida lalu niki bukit Remun tempat benama Selapak endur durian madu ka diatu. Udahnya sida ngulu sungai Kerang datai ba nanga sungai Engkuan lalu Mudik datai ba nanga sungai Remun. Sida  meda burung rauh rauh ngagau”remun, remun, remun” ba pucuk kayu. Kayunya pan dikumbai Kayu remun. Baka ka diatu bansa Iban remun kisi 27 buah Kampung. Kampung Lebur, Remun, Tribuh, Belimbin A, B, Semukoi, Liun, Kersik, Serawak, Kerupok, Engkabang, Meboi, Junggu Mawang, Batu Kudi, Bayur, Sepan, Tanah Mawang, Tipin, Menyan, Bunut, Krangan trusan, tekalong, Engkatak enggau Antayan.

7 Responses to “Sejarah Asal Usul Dayak Iban Remun…….”

  1. Iban Remun, Iban Balau, Iban Rejang, Iban Lemanak, Iban Saribas have the same ideology…..that is Iban for Iban, agi idup agi ngelaban, pantang kena keduan.
  2. Manah endar ‘history” bala menyadi kitai Remun tu ditulis nuan Cobbold.Bisi bup tentang pemindah, pendiau pengidup bala Remun ulih dibeli sebelah Bookstore kini ?
  3. pia meh kitai ngemaju ke bansa iban.anang alah ari bansa bukai.cerita pasla kitai iban to endang manah agi ti digaga dalam bup.awak ka orang ba serata dunya to nemu..very interesting right?
  4. Historical event for Dayaks in Sarawak
    Keep struggling for the betterment of the Remun
    community in particular.
    Another move towards unity and solidarity!
  5. Congratulation laban ti udah success numboh ka SIRA. Pemanah association tu disukung penuh ulih bala intellectual Iban Remun. Keep progress for the benefit of our community.
  6. manah meh nya….best nya…
  7. trima ksh ngau SIRA lbn udh ngemaju ke bngsa iban remun.anang d buai peluang t udah dtai.ngai ka rugi..maju bngsa iban remun.

MIMPI KETUAI BANSA DAYAK IBAN KE TAU KAYAU DULU KELIA

MIMPI KETUAI BANSA DAYAK IBAN KE TAU KAYAU DULU KELIA

Nyadi kitai bansa Dayak Iban tu siti ari raban bansa ke arap bendar ka pengawa bemimpi rambau dulu kelia. Lalu ba cherita tu aku ka ngenang ngagai bala pemacha iya nya maioh macham bengkah mimpi ketuai bansa Dayak Iban ke kala didinga sereta ditemu balat beberita tau kayau tau mulau rambau dulu kelia.
Lalu ba cherita tu mega aku ka ngenang madah ka sekeda pengawa bansa Dayak Iban rambau ka dulu kelia. Nyadi bansa Dayak Iban tu sigi endang arap bendar ka semoa utai ti manah enggau utai ti jai nya nemu ka datai nyadi nitih ka peneka atur petara magang. Lalu sida iya mega arap ka petara ulih madah ka gaya utai ti ka nyadi ba sida nya ngena jalai sekali ka ari ngena mimpi tauka ari ke ngena burong nyadi ka laba sida ngereja pengawa.
Kelia menya leboh maia rambau bansa Dayak Iban beguna ka pemerani ati ka dikena sida iya nurun mansang ngayau tauka ka ngiga jereki ka tau mai pemanah ke sida iya diau ngidup ka diri, sida iya suah bendar ngereja pengawa ke dikumbai orang nampok ba tuchong bukit ke tinggi ti endang ditemu sida iya beberita bisi antu diau nguan ba tuchong bukit nya. Lalu sida iya mega kala ngereja pengawa nampok tu ba kaki wong enggau maioh alai bukai ke endang disangka tauka udah kala ditemu sida bisi antu nguan. Sida iya mega kala tak semina nganjong diri empu tindok aja ngagai endor ke ka alai nampok nya tadi ketegal laban alai nya nadai antu nguan tauka antu ba endor nya enggai datai nulong sida ia. Nyadi sida iya ke mansang nampok kia sigi mai rengka piring enggau ading, awak ka antu tauka petara ba endor nya ka datai lalu bisi utai dipakai.



Nyadi bansa Dayak Iban ke bidik lansik, tampak jelu tulong antu, dikelala petara nulong nyengenda kala betemu lalu dipadah ka sida Keling, sida Bunga Nuing, sida Laja sida Bunga Jawa, sida Sempurai, sida Ngelai nyadi ketuai ke tau matak serang maia nurun ngayau. Lalu bisi mega sida nya semina tau naka nyadi ketuai kayau, ketuai mulau, tauka nyadi orang ti ke tau bulih padi betanam ubi enggau nyadi orang ke tau bulih tajau, bulih mau. Pia mega ari pengawa ka beburong tu sida iya tau mega mudah bulih dengah sereta ngangkat ka nama diri laban bulih reta bulih tengkira, bulih padi, mujor pegi, lalu pia sekali ka bidik lansik maia ke nurun pegi belayar ke luar nengri enggau ngereja getah.
Lalu pia mega aku ngari ka niang Benedict Sandin ti nyadi pengarang cherita tuai tu ba taun 1962 ti dikumbai iya Tiga Belas Bengkah Mimpi ti bisi ditampong lalu ditulis aku ngambi ka bisi ka penemu bala maioh ke bekena ka internet nitih ka singkang pemansang kemaia tu hari. Lalu pia mega enda dilengka ka ba jako kenang aku, iya nya semoa bengkah mimpi ka ditusoi ditu sereta dikeingat ka orang ti nusoi ngagai iya, iya nya baka niang Mujah anak Mambang, ti datai ari menoa Penom, Paku; niang Busok anak Gerijih ti datai ari menoa Entanak, Betong; niang Tuai Rumah Libau anak Penghulu Garan ti datai ari menoa Paku; niang Selaka anak Budin ti datai ari menoa Stambak Ulu, Betong; niang Umpi anak Penghulu Rantai ti datai ari menoa Awik, Saratok enggau niang Tom Harrisson ke gawa nyadi Curator Sarawak Museum ka udah nyukong iya ngereja sereta nulis surat tu kelia.